Teknologi Untuk Pembangunan Berkelanjutan



PENDAHULUAN

Pada belahan pertama goresan pena ini, akan dipaparkan terlebih dahulu belahan yang mempunyai arti yang luas dan bersifat makro, yaitu perihal duduk kasus yang dihadapi oleh insan di planet bumi ini, dan kemudian memperlihatkan landasan mengapa pembangunan berkelanjutan (sustainable development) perlu diwujudkan. Hal inilah yang melatarbelakangi mengapa teknologi untuk pembangunan berkelanjutan akan mempunyai tugas yang penting dalam mewujudkan hal tersebut. Di samping itu, pengertian perihal teknologi tersebut akan dipaparkan secara singkat.
Selanjutnya, pada bagain final makalah, disampaikan aplikasi teknologi untuk pembangunan. Diskusi perihal teknologi tersebut dibatasi hanya pada tiga hal, yaitu perubahan pada sumber energi primer, perubahan materi baku dan menghindari terjadinya produk samping dan emisi.

PEMBAHASAN

Bagaimana Masa Depan Kehidupan Manusia di Bumi Ini ?
            hCarbon Dioxide Levels Rise hMercury Climbs hOceans Warm hGlaciers Melt hSea Level Rises hSea Ice Thins hPermafrost Thaws hWildfires Increase hLakes Shrink hLakes Freeze Up Later hIce Shelves Collapse hDrought Linger hPrecipitation Increases hMountain Stream Run Dry hWinter Losses Its Bites hSpring Arrives Earlier hAutumn Comes Later hPlants Flower Sooner hMigration Times Vary hHabitat Change hBirds Nest Earlier hDiseases Spread hCoral Reefs Bleach hSnow packs Decline hExotic Species Invade hAmphibian Disappears hCoastlines Erode hCloud Forests Dry hTemperatures Spike at High Latitudes.
(What in the World Is Going On? National Geographic, September 2004)
Bumi tempat insan berpijak ialah planet yang dinamis. Energi dari matahari, panas bumi, dan pergerakan air membuat benua, gunung, lembah, daratan, dan dasar samudera. Proses perubahan yang terus berlangsung tidak hanya memfasilitasi kehidupan di atasnya, tetapi juga membuat bencana. Saat ini, bumi mempunyai fungsi selain sebagai ruang dan sumber daya alam, yaitu sebagai “Bak Sampah”. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya populasi penduduk dunia dan memburuknya kondisi lingkungan.
Meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk dunia telah mengakibatkan tekanan terhadap sumber daya alam termasuk udara, air, tanah, dan keanekaragaman hayati. Kehidupan modern dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) hingga dikala ini pada umumnya masih mengeksploitasi sumber daya alam secara maksimal terutama untuk keperluan materi baku industri, termasuk industri kimia, yang juga menghasilkan limbah yang mengotori bumi. Dan apabila proses eksploitasi ini tidak dikendalikan dan limbah yang dihasilkan belum ditangani secara serius, maka akan menimbulkan dampak jelek terhadap lingkungan.
Pembangunan dikala ini pun belum memuat pertimbangan lingkungan yang memadai. Namun, upaya pencegahan sudah mulai dilakukan melalui banyak sekali hukum perundangan mengenai lingkungan. Di samping itu, kemiskinan di selatan dan kemapanan di utara cenderung merusak lingkungan hidup dan memboroskan sumber daya alam. Dengan demikian, memahami bumi dan proses yang terjadi di dalamnya ialah mutlak semoga insan sanggup bertindak bijaksana. Oleh lantaran itu, sangatlah penting untuk menjaga kapasitas lingkungan semoga sanggup melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik.
Manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan di bumi sudah sepatutnya melaksanakan hal-hal yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan bumi. Populasi insan di bumi telah melampaui 6 miliar jiwa pada tahun 2000 dan diperkirakan akan mencapai 8 miliar jiwa pada tahun 2020. Untuk mendukung jumlah insan sebanyak itu, beban bumi akan semakin berat, terutama dalam penyediaan sumber daya alam dan untuk memperlihatkan lingkungan yang berkualitas layak.
Sepanjang menyangkut lingkungan hidup dan/atau sumber daya alam (SDA), insan sesungguhnya dihadapkan pada suatu tantangan berat. Tantangan ialah suatu keadaan atau kondisi yang menghadapkan insan pada suatu masalah, tetapi pemecahannya memerlukan suatu kemampuan gres (yang masih harus dicari dan dikembangkan). Tiga tantangan yang paling menonjol yang digarisbawahi dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi 1992 di Rio de Janeiro ialah :
  1. Pesatnya laju pertumbuhan populasi insan di bumi.
Pertumbuhan penduduk dunia meningkat pesat menyerupai yang disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1.  Pertumbuhan dan proyeksi penduduk dunia, 1950 – 2050
Sumber : Population Division of the Department of Economic and Social Affairs
of the United Nations Secretariat (2004), http://esa.un.org/unpp

  1. Bumi telah terbelah menjadi dua dunia yaitu :
·         Dunia Utara sebagai negara industri maju yang jumlah penduduknya relatif sedikit, kurang dari 20% penduduk bumi seluruhnya. Namun, konsumsi sumber daya alam secara umum sanggup mencapai 40 kali dari dunia selatan.
·         Dunia Selatan yang terdiri atas negara sedang berkembang. Mereka masih dicengkeram oleh kemiskinan dan keterbelakangan sedemikian rupa sehingga kehidupan bagi mereka ialah suatu usaha untuk mempertahankan eksistensi atau eksistensi belaka. Dengan demikian, tidaklah mengherankan apabila mereka tidak memperdulikan duduk kasus lingkungan.
  1. Perkembangan Iptek yang secara umum masih berciri eksploitatif, menghasilkan limbah dalam jumlah yang tinggi, dan tidak ekonomis energi. Hal tersebut memperlihatkan tekanan yang tinggi terhadap ekosistem di bumi.
Apabila ketiga tantangan tersebut tidak bisa kita jawab, maka banyak sekali kasus akan merongrong tidak hanya bagi insan tetapi juga seluruh makhluk hidup yang berada di bumi. Beberapa dampak, yang telah diidentifikasi semenjak KTT di Rio de Janerio 1990, apabila tantangan-tantangan tersebut tidak terjawab ialah :
  1. Bumi akan mengalami krisis untuk memperoleh air bersih, dalam arti tidak hanya kuantitas namun juga kualitas.
  2. Berkurangnya lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan keperluan hidup lainnya. Hal ini disebabkan oleh pengalihan pemanfaatan lahan pertanian menjadi lahan untuk non-pertanian dan meluasnya pembentukan lahan kritis sebagai jawaban pemanfaatan lahan pertanian yang tidak memerhatikan upaya pemeliharaan kesuburan tanah. Hal-hal tersebut berakibat pada penggurunan, pengikisan, dan pelongsoran.
  3. Menipisnya luas daerah hutan secara global lantaran tuntutan akan kebutuhan lahan non hutan. Yang dikhawatirkan ialah menurunnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran, baik dalam bentuk jenis tumbuhan dan satwa liar maupun juga ekosistem dan plasma nutfah.
  4. Terjadinya pencemaran dan perusakan ekosistem pantai dan bahari sebagai jawaban penangkapan ikan yang hiperbola (over-fishing), perusakan habitat satwa bahari dan terumbu karang, dan pencemaran oleh limbah dan sampah yang terbawa fatwa muara sungai dari acara insan di darat.
  5. Peningkatan beban pencemaran ke udara atau atmosfer juga memperlihatkan ancaman terhadap penurunan kualitas udara sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan iklim secara global (akibat menipisnya ozon dan meningkatnya gas rumah kaca), dan hujan asam. Di samping itu, jumlah dan jenis limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya) meningkat yang keseluruhannya sanggup membahayakan kesehatan insan dan lingkungan.
Lima belas tahun berlalu semenjak pertemuan di Rio de Janeiro dan serangkaian perundingan internasional yang melibatkan banyak negara dan para ahli, termasuk di antaranya yang paling populer ialah Protokol Kyoto. Apakah lingkungan bumi kita makin membaik? Bukti-bukti ilmiah memperlihatkan bahwa keadaannya justru makin memburuk. Konsentrasi gas-gas rumah beling (antara lain gas CO2, CH4, N2O, dan HFC) di atmosfer terus meningkat, yang menjadikan perubahan iklim global. Perubahan iklim tersebut dipicu oleh meningkatnya temperatur rata-rata secara global yang semenjak tahun 1880 hingga tahun 2002 hampir sekitar 0,6 OC (1 OF), menyerupai terlihat pada Gambar 2. Bagaimana prediksi temperatur bumi di masa yang akan datang? Apakah akan mengikuti garis merah, ataukah mengikuti garis biru? Dan bagaimana dengan masa depan kehidupan insan di bumi ini?


Gambar 2. Perubahan temperatur rata-rata tahunan secara global
Sumber :  Mader (2007)

Pembangunan Berkelanjutan
            Sustainable development: "Development that meets the needs of present without compromising the ability of future generations to meet their own needs." The World Commission on Environment and Development, Brundtland Commission, 1987
Pola pertumbuhan perkembangan ekonomi atau parameter lainnya, menyerupai populasi, sanggup dilukiskan menyerupai pada Gambar 3. Memperhatikan pola pertumbuhan pada gambar tersebut, keadaan dunia dikala ini berada pada garis hitam-penuh yang sedang menanjak, terutama dari segi pertumbuhan populasi dan ekonomi. Sampai kapankah pertumbuhan ini akan terus berlanjut?
Dengan memerhatikan gejala yang terjadi di bumi ini dan tantangan yang telah dikemukakan pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, sepertinya tidak gampang diatasi oleh umat manusia, yang terjadi ialah masa depan yang jelek bagi kehidupan manusia. Prediksi yang terjadi ialah menyerupai yang digambarkan oleh garis merah-penuh pada Gambar 3. Yaitu, terjadinya peristiwa yang menimpa umat manusia. Keadaan menyerupai ini haruslah dihindari dengan banyak sekali cara dan usaha.
Usaha yang harus dilakukan ialah bagaimana mengatur banyak sekali upaya untuk mencapai kesetimbangan di bumi ini. Pencapaian kesetimbangan yang sanggup menunjang kebutuhan insan dikala ini dengan tidak mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan yang mereka perlukan, dikenal sebagai “Keberlanjutan”, dan masyarakat yang berusaha membuat kondisi menyerupai itu disebut sebagai “Masyarakat yang Berkelanjutan” (Sustainable Society).


Gambar 3. Pola pertumbuhan pembangunan secara umum
Sumber: Suzuki (2006)

Bagaimana mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan ialah tantangan besar bagi umat insan dikala ini, yang harus segera dijawab dan diwujudkan. Namun, kriteria apakah yang sanggup diterapkan bagi suatu usaha, tindakan, atau acara dalam mewujudkan keberlanjutan tersebut? Kriteria yang digunakan oleh UNFCC (United Nation Framework on Climate Change) dalam mempertimbangkan keberlanjutan suatu proyek atau acara ialah memenuhi 3-P. Arti dari 3-P ialah Planet, Profits, and Persons. Atau dengan kata lain, keberlanjutan tersebut harus mempertimbangkan keberlanjutan dari sisi Lingkungan, Ekonomi, dan Sosial. Secara diagram ketiga kriteria tersebut sanggup diilustrasikan menyerupai pada Gambar 4.


Gambar 4. Kriteria dalam pembangunan yang berkelanjutan
Sumber : DSM (2005)

Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan, peranan teknologi tidaklah sanggup diabaikan dan dikesampingkan, akan tetapi dengan tantangan yang besar. Mulder (2006) mengungkapkan bahwa dalam rangka mendukung pembangunan yang berkelanjutan, efisiensi lingkungan produksi dan konsumsi suatu teknologi atau produk rata rata harus mencapai faktor 32,4. Dalam perhitungan tersebut diasumsikan dampak lingkungan dari produksi dan konsumsi pada tahun 2050 ialah separuh dari tahun 2000, jumlah penduduk dunia sebesar 1,5 kali lipat pada tahun 2050 dibandingkan 2000 dan negara miskin mengejar kemakmuran menyerupai di negara negara maju, yang berakibat pada pemanfaatan sumber daya alam sebesar 10,8 kali lipat pada tahun 2050.
Dengan melihat angka yang diprediksi tersebut, maka  para industrialis, ilmuwan dan insinyur harus memikirkan perubahan teknologi dengan cara lompatan, tidak cukup hanya perubahan yang marjinal. Sejarah mencatat perubahan perubahan teknologi marjinal yang telah dilakukan manusia:
§  Pada dikala awal insan menghadapi duduk kasus lingkungan ialah dengan cara yang paling mudah, yaitu membuangnya di lahan kosong dan berjauhan dengan acara manusia; atau mengencerkannya ke sungai atau udara.
§  Setelah pencemaran makin meningkat, kemudian diperkenalkan teknologi pengolahan limbah untuk mengurangi dampak dari limbah yang dihasilkan, dengan tidak mengubah proses produksi. Sebagian besar indusri di Indonesia masih pada tahap ini.
§  Metode penanganan limbah ternyata tidak cukup berarti (significant) untuk mengatasi pencemaran lingkungan, sehingga pengurangan beban pencemaran menjadi pilihan yang diutamakan oleh banyak negara maju. Pengurangan beban pencemaran ini bukan hanya mengurangi jumlah limbah, tetapi meliputi pula perancangan-ulang proses produksi, sehingga beban pencemaran dan pengurangan biaya menjadi berarti. Terminologi yang digunakan untuk teknik ini sangat beragam, ada yang menyebutnya pencegahan pencemaran, minimisasi limbah, produksi bersih, teknologi hijau dan sebagainya.
            Namun, teknologi untuk pembangunan yang berkelanjutan–selanjutnya disebut sebagai teknologi berkelanjutan—tidaklah cukup dengan perubahan teknologi yang bertujuan memproduksi barang dan jasa dengan meminimalkan limbah saja, teknologi yang dibutuhkan ialah teknologi dengan tujuan yang jauh lebih luas. Hal ini untuk memungkinkan kita untuk memenuhi kebutuhan umat insan dengan tanpa melebihi kapasitas daya dukung dan daya tampung ekologi planet bumi ini dan mempromosikan kesetaraan kebutuhan manusia.   
 Teknologi Berkelanjutan mempunyai paling tidak tiga karakterisitik, yaitu: memenuhi kebutuhan umat manusia, mempertimbangkan dampak global dan memperlihatkan penyelesaian jangka panjang (Mulder, 2006). Beberapa pola yang memperlihatkan teknologi yang tidak berkelanjutan, antara lain:
§  Penggunaan pupuk kimia, yang pada awalnya sanggup meningkatkan kebutuhan pangan, akan tetapi pada jangka panjang menimbulkan kerusakan tanah pertanian lokal.
§  Obat antibiotika telah dirasakan penting bagi peningkatan kesehatan manusia, tetapi penggunaannya yang sangat luas mengakibatkan munculnya kuman yang tahan terhadap obat antibiotika. Pada jangka panjang, hal ini sanggup menimbulkan resiko kesehatan yang luas.
Kata kunci dari teknologi berkelanjutan ialah adanya penemuan sistem yang mengubah struktur sistem teknologi. Pengertian sistem di sini bukan saja pada skala mikro akan tetapi meliputi penemuan sistem dalam skala besar yang melibatkan unsur unsur yang berkontribusi dalam menghasilkan produk dan jasa bagi konsumen. Inovasi sistem ada kalanya membutuhkan biaya investasi yang besar dan sering pula diiringi dengan kehancuran keseluruhan sistem yang digantikannya. Sebagai contoh, sistem telegraf yang dihancurkan oleh teleks, yang kemudian kedua teknologi tersebut disapu oleh mesin faks. Saat ini, kita sedang mengamati menghilangnya mesin faks yang digantikan oleh pengiriman dokumen melalui surat elektronik (e-mail).

Aplikasi Teknologi untuk Pembangunan yang Berkelanjutan
            “The old paradigm works like this: we judge just about every issue by asking the question, will this make the economy larger? But, endless economic growth is built on the use of cheap fossil oil.” Bill McKibben - Penulis buku terlaris The End of Nature.
Berikut ini disampaikan tiga buah pola penemuan sistem yang lebih rinci dalam rangka teknologi untuk pembangunan yang berkelanjutan (Mulder, 2006).  Tiga pola tersebut adalah
§  Mengubah penggunaan sumber energi primer dan peningkatan efisiensi energi dalam sistem produksi
§  Mengubah sumber materi baku dan penggunaan kembali produk yang tak-termanfaatkan.
§  Menghindari terjadinya produk samping (by-products) dan emisi.

Mengubah Penggunaan Sumber Energi Primer dan Peningkatan Efisiensi Energi dalam Sistem Produksi
Pada dikala ini, sumber energi primer untuk industri dan acara insan ialah materi bakar fosil (minyak bumi, gas dan batubara). Energi primer ialah energi pencetus utama yang eksklusif digunakan untuk suatu kegiatan. Misalnya, penggunaan bensin atau solar untuk kendaraan bermotor, penggunaan batubara/gas/minyak untuk menghasilkan uap panas (steam) untuk menjalankan mesin, memanaskan alat alat di pabrik pabrik atau untuk menghasilkan listrik dari suatu pabrik.
Dalam dekade mendatang, kita akan melihat perubahan yang besar dalam penggunaan sumber energi primer di negara industri, yaitu dengan beralih pada listrik sebagai energi primer. Beberapa negara maju mendorong lebih jauh penggunaan kendaraan  bertenaga listrik yang dikala ini banyak dikritik sebagai ‘kendaraan dengan emisi di tempat lain’ bukan sebagai ‘kendaraan dengan emisi nol’. Maksudnya ialah untuk menghasilkan listrik tersebut, dikala ini masih dihasilkan emisi, walapun bukan pada kendaraan tersebut, tetapi terjadi di tempat pembangkit tenaga listriknya. Demikian pula proses produksi di industri beralih dengan pemakaian listrik sebagai sumber energi primer. Akan tetapi pertanyaannya ialah apakah penggunaan listrik sebagai sumber energi primer merupakan hal yang perlu dipertimbangkan dalam menunjang teknologi berkelanjutan?
Jawabannya tidaklah sederhana, perlu pertimbangan yang matang dengan paling tidak mengkaji dari tiga karakteristik teknologi berkelanjutan yang telah disebutkan pada sub belahan sebelumnya. Namun, kelebihan berikut dari energi listrik sebagai energi primer perlu menjadi masukan yang berharga:
Ÿ  Pembangkit listrik secara umum memakai materi bakar lebih efisien daripada penggunaan materi bakar eksklusif di proses industri lainnya. Namun, sebagian energi (3-15%) hilang dalam jaringan transmisi dan distribusi melalui jaringan listrik (grids).
Ÿ  Dengan pengembangan jaringan listrik (grids) yang lebih tepat akan  meningkatkan kesempatan bagi penghasil energi dari materi bakar yang terbarukan (renewable resources) untuk sanggup menjual energi listriknya.
Ÿ  Polusi dari satu cerobong pembangkit listrik jauh lebih gampang dikendalikan daripada emisi dari cerobong yang banyak dari banyak sekali industri.
Ÿ  Pemakaian energi seringkali menimbulkan pencemaran udara yang berbahaya bagi kesehatan, terutama di daerah perkotaan. Pembangkit listrik dimungkinkan di tempatkan di luar daerah perkotaan, sehingga dampak pencemaran udara sanggup diminimalkan.
Ÿ  Sumber sumber energi listrik terbarukan tersedia dalam jumlah yang cukup bagi daerah tertentu dan sanggup di eksplorasi lebih jauh. Misalnya limbah biomassa, menyerupai di Lampung, Riau dan daerah lainya. Sumber geothermal yang tersedia di banyak tempat di Indonesia yang sangat dimungkinkan untuk dijadikan sumber listrik.
Ÿ  Sumber listrik yang terbarukan lainnya mempunyai potensi yang besar bila didorong dengan kebijakan yang tepat dan insentif yang memadai. Contohnya ialah tenaga surya, angin, gelombang dan lain lain.
Efisiensi pembangkit listrik sanggup ditingkatkan lebih tinggi dengan mengkombinasikan panas dan energi (CHP – cogeneration of heat and power). Dalam waktu dekat, di banyak tempat di dunia termasuk di Indonesia, akan terjadi revolusi jaringan listrik (grids) di mana setiap orang bisa menghasilkan listrik (produsen) dan juga sebagai pengguna (konsumen). Untuk mencapai hal tersebut perlu penyelesaian permasalah teknis dan regulasi terlebih dahulu, semoga kita semua sanggup menjadi produsen dan konsumen listrik dan energi secara bersamaan.
Hal lain yang berkaitan dengan efisiensi energi, terdapat banyak kemungkinan yang potensial untuk mengurangi konsumsi energi. Proses pemanasan dan pendinginan secara terang membutuhkan energi dalam jumlah yang besar. Padahal kebutuhan energi dalam proses proses ini sesungguhnya sanggup dikurangi dengan penukar panas yang tepat. Contoh lain ialah mesin pengolah data (data servers) perlu pendinginan lantaran mesin menjadi panas  oleh sejumlah mikroprosesor yang ada di dalamnya. Apabila kita sanggup menyebarkan mikroprosesor yang membutuhkan energi yang lebih rendah, maka kita memperoleh dua laba sekaligus yaitu kebutuhan energi yang rendah dan kebutuhan pendinginan yang rendah pula.

Mengubah Sumber Bahan Baku dan Penggunaan Kembali Produk yang Tak-termanfaatkan
Bahan baku utama dalam industri kimia dan proses pada dikala ini masih tergantung sangat berpengaruh terhadap materi baku berbasis minyak bumi dan gas atau materi yang berasal dari fosil. Penggunaan materi baku tersebut perlu menjadi pertimbangan matang di masa mendatang.
Laporan EuropaBio tahun 2003 memuat studi yang dilakukan oleh McKinsey and Company, Oeko Institute bahu-membahu dengan sebuah dewan penasehat terhadap sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang industri bioteknologi dalam rangka memperlihatkan penilaian  terhadap potensi industri bioteknologi di masa depan
Laporan tersebut memperlihatkan indikasi bahwa pangsa pasar industri bioteknologi akan meningkat dengan tajam di seluruh bidang pada tahun 2010, terutama dalam produksi materi kimia adi (fine chemicals). Diperkirakan, pada tahun 2010, antara 30 hingga 60% materi kimia adi, dan antara 6 hingga 12% polimer dan materi kimia curah (bulk chemicals) akan diproduksi dengan cara bioproses dengan materi baku biomassa. Pada dikala laporan tersebut ditulis, tahun 2003, penetrasi industri bioteknologi terhadap seluruh industri kimia sekitar 5%, diperkirakan penetrasi tersebut akan meningkat antara 10 - 20% pada tahun 2010, dan bahkan akan meningkat dengan tajam pada tahun-tahun berikutnya. Laju penetrasi tersebut bergantung pada beberapa faktor, antara lain yang akan sangat mempengaruhi ialah harga minyak mentah, harga materi baku pertanian (biomassa), kemauan politik dari banyak pemerintahan, dan struktur dari teknologi gres ini (Bachman, 2003).
Marilah kita lihat dua faktor yang pertama, yaitu minyak mentah dan biomassa. Ketersediaan minyak mentah sudah dipastikan akan habis, walaupun perdebatan perihal waktunya tetap hangat didiskusikan oleh para jago di bidangnya. Mengenai cadangan materi bakar fosil, dikala ini dunia dihadapkan oleh situasi yang bertolak belakang, yaitu kenyataan bahwa minyak mentah sedang dikonsumsi dengan laju yang jauh lebih cepat daripada sebelumnya, di sisi lain, cadangan-terbukti (proven oil reserve) tetap pada tingkat yang hampir sama dengan 30 tahun lalu. Ditambah lagi, cadangan-terbukti tersebut berada pada tempat-tempat yang sulit untuk dijangkau. Dengan demikian, biaya untuk mengeksploitasi minyak mentah terus meningkat, dan ini ditunjukkan dengan harga minyak mentah yang terus meningkat menyerupai diilustrasikan pada Gambar 5.


Gambar 5. Harga rata-rata bulanan minyak mentah Brent
Sumber: Oilenergy.com (2010)

Produksi biomassa di bumi ini diperkirakan sekitar 170 miliar ton per tahun yang terdiri dari 75% karbohidrat, 20% lignin, dan 5% senyawa lainnya, menyerupai minyak dan lemak, protein, alkaloid, dan lain sebagainya. Dari nilai produksi biomassa tersebut, hanya sekitar 3,5% (6 miliar ton) dikala ini digunakan untuk kebutuhan manusia, dengan rincian sebagai berikut (Soetaert dan Vandamme, 2006) :
·         3,2 miliar ton (62%) untuk kebutuhan pangan manusia, antara lain melalui peternakan binatang dan pertanian.
·         2 miliar ton (33%) untuk energi, kertas, dan kebutuhan konstruksi.
·         300 juta ton (5%) untuk memenuhi kebutuhan insan non-pangan, menyerupai untuk materi baku pembuatan pakaian, deterjen, materi kimia, dan lain sebagainya.
            Berdasarkan data di atas, sanggup diketahui bahwa masih terdapat ruang yang cukup lebar untuk memanfaatkan biomassa sebagai sumber daya alam yang terbarukan (renewable resources) untuk memenuhi kebutuhan manusia. Pemanfaatan biomassa tersebut merupakan tantangan yang terbesar bagi teknologi berkelanjutan untuk menjawabnya.
Laporan McKinsey memperkirakan bahwa dengan terwujudnya industri bioteknologi yang berbasis biomassa, akan terjadi penurunan gas rumah beling antara 17-65% (lingkungan), dan nilai potensi ekonomi industri tersebut sekitar 11-22 miliar Euro per tahun (ekonomi) pada tahun 2010. Dengan makin terwujudnya industri yang berkelanjutan, diharapkan akan membawa laba ke daerah yang berbasis masyarakat (sosial). Dengan demikian, industri yang memanfaatkan Teknologi Berkelanjutan akan mendorong terwujudnya Masyarakat yang Berkelanjutan (Sustainable Society).
 Dari pembahasan di atas tampak bahwa mengubah materi baku utama pada proses industri sanggup membantu mengurangi limbah, pencemaran dan penipisan dari sumber materi baku yang tidak terbaharui secara nyata. Bila melihat pada industri konvensional, industri secara umum menghasilkan bermacam-macam limbah, yang secara prinsip limbah tersebut sanggup dimanfaatkan kembali atau didaur ulang, akan tetapi seringkali limbah tersebut tidak termanfaatkan lantaran alasan alasan teknis dan ekonomi, contohnya tidak tersedianya proses yang efektif untuk memanfaatkan limbah tersebut.
Proses daur ulang yang tersedia dikala ini sanggup menjadi efektif secara biaya (cost effective), apabila terjadi perubahan peraturan (undang-undang) atau kenaikan harga materi baku. Ketidaktersediaan teknologi daur ulang yang efektif secara biaya  jarang sekali terjadi hanya disebabkan oleh faktor teknis, akan tetapi banyak dipengaruhi pula oleh faktor sosial.            Biaya sesungguhnya dari limbah suatu proses produksi (termasuk konsumsinya) seringkali tidak dibayar oleh perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. Sebagai contoh, kemasan suatu produk (katakanlah kemasan kotak dari produk susu) akan menjadi limbah domestik sesudah produk tersebut dikonsumsi oleh pembeli. Lalu limbah kemasan menjadi beban masyarakat atau pemerintah daerah. Hal tersebut menjadi berbeda apabila biaya pengolahan limbah kemasan menjadi tanggung jawab produsen, menyerupai yang diatur dalam Undang Undang Sampah No. 18 tahun 2008
Dengan adanya undang undang tersebut produsen akan mempertimbangkan apakah akan memakai kemasan yang sama (kemasan kotak yang sulit dihancurkan dan sulit dimanfaatkan kembali) atau kemasan yang berbeda. Produsen akan terdorong dan berpikir lebih jauh untuk mengurangi penggunaan kemasan atau mengubah kemasan atau mengubah rancangan produk untuk mengurangi limbah domestik secara nyata.
Pengurangan, pemanfaatan kembali dan daur ulang produk dan atau materi baku, dikenal sebagai 3R (reduce, reuse and recycle) ialah hal yang sangat penting dilakukan di industri dan masyarakat. Banyak sekali pola yang sanggup dilaksanakan untuk hal tersebut, yang pada pada dasarnya ialah bagaimana melaksanakan siklus material (material cycle) yang tertutup sejauh hal tersebut sanggup dilaksanakan dan diupayakan.
Pola pikir yang relatif gres perlu diperkembangkan dalam rangka mencegah dan mengurangi limbah industri ialah Ekologi Industri. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa industri sebaiknya mengikuti alur yang terjadi di alam, contohnya menghasil produk tanpa limbah, memanfaatkan limbah dari suatu industri menjadi materi baku dari industri lain (waste exchange), dan lain sebagainya. Dengan demikian, sekelompok industri merupakan sistem simbiosis antara satu industri dengan industri yang lain. Contoh yang populer mengenai ekologi industri ini ialah di daerah industri Kalundborg, Denmark (www.indigodev.com/ Kal.html)

Menghindari Terjadinya Produk Samping  dan Emisi
Menghindari terjadinya produk samping dan emisi merupakan hal teknis dan seringkali menjadi sesuatu yang terlalu detil untuk dipahami oleh masyarakat umum. Namun, hal ini menjadi belahan yang sangat penting untuk diperhatikan oleh para insinyur kimia dan jago proses di industri dan menjadi tantangan besar di kemudian hari dalam rangka mewujudkan Teknologi Berkelanjutan.
Beberapa pola berikut ini dikemukakan dalam Mulder (2006). Contoh pertama ialah produk isomer. Produk dari proses kimia seringkali dihasilkan beberapa isomer, yaitu senyawa dengan rumus molekul yang sama, akan tetapi mempunyai stuktur molekul yang berbeda atau kedudukan suatu unsur (atau senyawa) berbeda dalam struktur ruangnya. Yang menyulitkan ialah produk yang mempunyai kegunaan hanyalah suatu isomer tertentu, sedangkan isomer isomer lainnya merupakan produk limbah (by-products) yang tidak sanggup dimanfaatkan.
Contoh dari produk isomer ialah para-phenylene-diamine (PPD) yang merupakan senyawa antara untuk menghasilkan serat aramid-kinerja-tinggi. Dalam proses produksi PPD dihasilkan senyawa isomernya dengan kuantitas yang sama (1:1) yaitu ortho-phenylene-diamine (OPD). Isomer OPD ini tidak mempunyai kegunaan yang berarti, sehingga menjadi limbah yang harus ditangani. Pada tahun 1980-an, kebutuhan akan serat aramid makin meningkat, akan tetapi terhambat oleh produk samping yang harus ditangani dengan seksama. Hal ini mendorong industri penghasil serat aramid, AKZO-Nobel untuk menyebarkan proses yang  secara selektif hanya menghasilkan isomer PPD. Kunci dari penelitian tersebut ialah menentukan kondisi operasi dan katalis yang tepat untuk menghasilkan PPD tanpa membentuk OPD.
Contoh lainnya yang klasik, yaitu di industri pengilangan minyak bumi. Proses dalam industri pengilangan minyak bumi konvensional ialah memisahkan minyak bumi menurut titik didihnya, atau disebut fraksi, yang sangat tergantung pada minyak mentah yang diolah. Fraksi yang mempunyai nilai jual tinggi ialah fraksi yang relatif ringan, dengan demikian pada pengilangan minyak bumi akan dihasilkan fraksi minyak berat (heavy oils) dan tar yang bernilai jual rendah atau seringkali menjadi limbah. Pengembangan lebih lanjut dengan teknologi konversi katalis (catalytic conversion), fraksi berat dimungkinkan dipecahkan menjadi fraksi ringan, sehingga meningkatkan keekonomian industri pengilangan minyak bumi. Bahkan, sulfur yang terkandung dalam fraksi berat sanggup diambil kembali menjadi produk welirang (S) yang bermanfaat bagi industri kimia lainnya. Perubahan-perubahan menyerupai ini telah dan sedang dilakukan oleh industri pengilangan minyak di Indonesia, walaupun perubahan yang lebih besar lagi perlu ditingkatkan semoga industri pengilangan minyak Indonesia bisa menerapkan teknologi yang mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Banyak pola contoh lain yang berkaitan dengan menghindari produk samping dan emisi  disajikan di banyak sekali buku rujukan, antara lain, dalam Mulder (2006). Pada pada dasarnya ialah peningkatan teknologi pengendalian proses, teknologi katalis dan perbaikan sistem administrasi lingkungan akan bisa meningkatkan efisiensi konversi materi baku–yang langka—menjadi produk final yang bermanfaat dan mengurangi terjadinya pencemaran lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Bachman, R. 2003. “Industrial Biotechnology – New Value – Creation Opportunities”,     McKinsey and Co., presentasi pada The Bio-Conference, New York.
DSM. 2005. “Industrial (White) Technology: An Effective Route to Increase EU      Innovation and Sustainable Growth”.
EuropaBio. 2003. White Biotechnology Gateway to a More Sustainable Future,      Brussels, April.
Mader, S.S. 2007. Biology, Ed. 9, McGraw Hill Int. Edition, New York.
Marshall, R. 2006. “Broader Horizons for Biomass”, Chemical Engineering, Vol. 113,       No. 10, pp. 21--25.
Mulder, K. Editor. 2006. “Sustainable Development for Engineers”, Greenleaf       Publishing Ltd., Sheffield.
Setiadi, T. 2007. “Peranan Teknik Bioproses dalam mewujudkan Masyarakat         Berkelanjutan’, Majelis Guru Besar, ITB, Bandung.
Soetaert, W. and Vandamme, E. 2006. “The Impact of Industrial Biotechnology”.             Biotechnology J., 1, pp. 756--769
Suzuki, M. 2006. “Aiming at Sustainable Society”, Half Day Seminar on Sustainable         Society, ITB, Bandung, November 27.


0 Response to "Teknologi Untuk Pembangunan Berkelanjutan"