Pengaruh Pendanaan Luar Negeri Dan Impor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Tahun 2001-2010 (Ilk-5)



Sejak berlangsungnya krisis moneter pertengahan tahun 1997, ekonomi Indonesia mengalami keterpurukan. Keadaan perekonomian makin memburuk dan kesejahteraan rakyat makin menurun. Pengangguran juga semakin luas. Sebagai akibatnya, petumbuhan ekonomi menjadi sangat terbatas dan pendapatan perkapita cenderung memburuk semenjak krisis tahun 1997.
Pihak pemerintah telah berusaha untuk membawa Indonesia keluar dari krisis. Tetapi mustahil sanggup dilakukan dalam waktu yang singkat. Oleh lantaran itu, pemerintah menciptakan skala prioritas yang artinya hal mana yang hendaknya dilakukan semoga Indonesia keluar dari krisis.
Kinerja perekonomian suatu Negara umumnya diukur oleh beberapa indikator ekonomi yang bisa mencerminkan tingkat kegiatan ekonomi di masyarakat. Perkembangan indikator-indikator ini tidak saja sanggup kuat pada tingkat stabilitas ekonomi, tetapi juga pada tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Salah satu indikator ekonomi terpenting ialah pertumbuhan ekonomi, yang untuk pencapaiannya tidak saja dipengaruhi oleh tersedianya pembiayaan yang memadai, tetapi juga oleh persoalan distribusi sumber daya yang ada.




Tabel 1.1
Laju Pertumbuhan PDB Menurut Jenis Penggunaan (Persen)

Tipe Pengeluaran
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Konsumsi Rumah Tangga
Konsumsi Pemerintah
PMTB
Perubahan Inventori
Ekspor Barang-Jasa
Impor Barang-Jasa
PDB
3.13
6.49
14.18
0.00
26.48
21.09
4.92
3.36
8.98
6.50
0.00
2.93
8.20
3.45
3.84
12.99
4.69
(68.73)
(1.22)
(4.28)
4.50
3.89
10.03
0.60
251.52
5.89
1.56
4.78
4.97
3.99
14.58
(48.91)
13.50
27.07
5.05
3.95
6.64
10.89
33.50
16.60
17.77
5.69
3.17
9.61
2.46
(13.37)
9.41
8.58
5.51
5.01
3.89
9.39
(100.84)
8.54
8.97
6.28
5.34
10.43
11.69
0.00
9.49
10.03
6.06
Sumber : Badan Pusat Statistik (2009)
Keterangan : Pertumbuhan PDB 2000-2001 memakai tahun dasar 2000
Dilihat dari pertumbuhan ekonomi, secara keseluruhan perekonomian Indonesia menggambarkan kinerja yang cukup menggembirakan selama periode tahun 2000-2008, dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang relative membaik. Dan pada tahun 2008 ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 6,1 persen, meskipun berada dalam banyak sekali tekanan dari sisi eksternal menyerupai tinginya harga minyak bumi dan beberapa harga komoditi dunia lainnya, serta melambatnya pertumbuhan ekonomi global (Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Badan Pusat Statistik; 2010).
Melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus membaik tersebut, maka sanggup dikatakan bahwa dalam kurun waktu tahun 2000-2008 acara ekonomi masyarakat Indonesia berjalan cukup lancar. Apalagi jikalau mencermati indikator ekonomi makro lainnya menyerupai inflasi, ekspor-impor, suku bunga, dan kurs rupiah. Keempat indikator ekonomi makro tersebut hingga final triwulan II 2008 memperlihatkan bahwa perekonomian Indonesia telah berada dalam situasi yang relatif stabil, dan bahkan cenderung menguat.
Namun sistem ekonomi Indonesia yang bersifat terbuka telah menyebabkan Indonesia sangat gampang dipengaruhi oleh situasi perekonomian global. Perekonomian Indonesia tidak bisa terlepas dari perubahan-perubahan yang terjadi di perekonomian global, baik secara kasatmata maupun negatif. Di tahun 2008, Indonesia sangat mencicipi fluktuasi perekonomian dunia yang sangat cepat, bahkan dalam jangka waktu yang tidak usang telah terjadi perubahan yang cukup berarti dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem berikutnya.
Di awal tahun 2008, perekonomian Indonesia menerima imbas negatif dari krisis energy dan krisis komoditas. Krisis energi ditandai dengan naiknya harga materi bakar minyak (BBM) sebagai akhir naiknya harga minyak mentah internasional, sedangkan krisis komoditas ditandai dengan naiknya harga komoditas di pasar internasional. Kenaikan harga BBM dan kenaikan harga banyak sekali komoditas tersebut telah mengganggu perekonomian Indonesia, khususnya terkait dengan anggaran pemerintah yang membengkak akhir melonjaknya subsidi BBM.
Masuknya sumber pembiayaan dari luar negeri sanggup terjadi dengan dua jalan, yaitu dari pendanaan dari luar negeri dan impor. Masuknya barang dan jasa tersebut dikarenakan ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sehingga Negara mesti memperoleh barang dan jasa yang dihasilkan oleh Negara lain. Begitupun pendanaan dari luar negeri. Kondisi finansial suatu Negara tidak bisa untuk melaksanakan pembiayaan atau pemenuhan anggaran. Khususnya di Negara berkembang menyerupai Indonesia.
Dibandingkan dengan Negara lain Indonesia merupakan salah satu Negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Kesuburan tanah, hutan yang luas, serta sumber daya alam yang tak terbarukan masih banyak tersimpan di perut bumi.
Negara sedang berkembang menyerupai Indonesia belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negerinya sendiri. Baik kebutuhan akan barang dan jasa, konsumsi maupun barang dan jasa produksi. Bahkan juga modal untuk anggaran pembangunan, baik pembangunan fisik maupun pembangunan nonfisik. Dalam literatur ekonomi, ada komitmen umum bahwa anutan sumber-sumber daya (bantuan) diantara banyak sekali negara menawarkan dorongan secara luas atas kenaikan efisiensi dan kesejahteraan ekonomi baik  negara maju (developed countries) maupun negara berkembang (developing countries).
Menurut Ruttan (1989, hal 411) ada dua argumen yang berbeda perihal anutan sumber-sumber daya (bantuan) ini, yang pertama didasarkan atas pertimbangan ekonomi dan kepentingan diri (self-interest) negara donor. Sedangkan kedua ialah alasan adat dan tanggung jawab susila negara-negara maju kepada negara-negara sedang berkembang.
Selain hal-hal tersebut di atas, perlu juga diperhatikan perkembangan perdagangan luar negeri dan neraca pembayaran yang sangat penting dan kuat besar atas perekonomian dan pembangunan negara yang sitem ekonominya terbuka, menyerupai Indonesia. Dalam hubungan ini gejolak fluktuasi perekonomian pada keseimbangan eksternal, yang juga kuat terhadap stabilitas dan pembangunan nasional.
Di Indonesia pendanaan dari luar negeri (bantuan luar negeri) yang diperoleh sudah berlangsung lama, mulai dari masa pemerintahan indonesia yang pertama yaitu masa pemerintahan orde usang hingga masa pemerintahan Kabinet Bersatu hingga sekarang. Pada dikala itu perekonomian Indonesia berada dalam keadaan “payah” dimana tingkat inflasi mencapai angka 650 persen. Pada tahun 1966, diadakan pertemuan multilateral yang pertama di Tokyo, (Tokyo Club). Dilanjutkan dengan “Paris Meeting” pada bulan Desember 1966, dan berakhir di Den Haag (Februari 1967) dimana pada dikala itu dilangsungkan juga sidang inter Govermental on Indonesia yang pertama, yang kemudian selama 24 tahun telah membantu Indonesia menjalankan pembangunan, hingga dibubarkan pada awal tahun 1992.
Tujuan dari suatu negara dalam mendapatkan bantuan pendanaan dari luar negeri ialah semoga pertumbuhan ekonomi sanggup ditingkatkan. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa dengan masuknya pendanaan ajaib maka investasi (baik sektor swasta maupun pemerintah) akan semakin meningkat, peningkatan investasi ini akan berdampak pada penggunaan sumber daya alam dan insan yang semakin meningkat sehingga produksi nasional sanggup ditingkatkan dan pada akhirnya akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Selain itu dengan adanya penggunaan sumber daya insan lebih meningkat maka persoalan pengangguran sanggup diperkecil sehingga kesejahteraan masyarakat sanggup meningkat.
Kemampuan kita sebagai para pelaku perdagangan internasional Indonesia/pelaku ekspor impor Indonesia dan bisnis internasional Indonesia dituntut untuk menyebabkan banyak sekali warta perihal kemudahaan perdagangan bebas internasional sanggup menawarkan laba yang maksimal terhadap aktifitas perdagangan bebas internasional.
pola konsumsi penduduk menjadi semakin terjerat oleh selera ke barang impor, sebagai hasil dari upaya penskenarioan selera yang dilakukan para produsen/eksportir di luar negeri melalui imbas demonstrasi dari taktik pemasarannya
Selama Januari-September 2009, nilai impor Indonesia mencapai US$68.330,9 juta yang berarti mengalami penurunan sebesar 32,80 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan terjadi pada impor migas sebesar 49,86 persen dan impor nonmigas sebesar 26,88 persen.

Keadaan impor di Indonesia tak selamanya dinilai bagus, alasannya ialah berdasarkan golongan penggunaan barang, peranan impor untuk barang konsumsi dan materi baku/penolong selama Oktober 2008 mengalami penurunan dibanding bulan sebelumnya yaitu masing-masing dari 6,77 persen dan 75,65 persen menjadi 5,99 persen dan 74,89 persen. Sedangkan peranan impor barang modal meningkat dari 17,58 persen menjadi 19,12 persen (Ringkasan Perkembangan Impor Indonesia, Badan Pusat Statistik, 2008).
Tanpa dilakukannya impor maka kebutuhan produksi dalam negeri bisa tidak terpenuhi. Baik itu materi baku produksi maupun mesin serta peralatan produksi. Bahkan konsumsi masyarakat akan barang-barang glamor yang diproduksi di Negara lain juga tidak terpenuhi. Namun sejauh manakah peranan impor terhadap pertumbuhan Indonesia. Apakah memang impor begitu menawarkan peranan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, begitu pula halnya dengan proteksi luar negeri?
Sesuai uraian yang telah diungkapkan, maka pendanaan dari luar negeri (bantuan luar negeri)berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia,begitupun juga dengan impor. Sehingga penulis tertarik mengangkat judul ”Pengaruh Pendanaan Luar Negeri dan Impor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 2001 - 2010.





0 Response to "Pengaruh Pendanaan Luar Negeri Dan Impor Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Tahun 2001-2010 (Ilk-5)"