Pengaruh Partai Lokal Terhadap Demokrasi Di Aceh

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Kehadiran Partai Politik Lokal di Aceh merupakan suatu bukti perkembangan demokrasi di Indonesia. Dengan hadirnya Partai Politik Lokal merupakan perhiasan sarana untuk penyampaian aspirasi politik masyarakat. Khususnya di Aceh, kehadiran Partai Politik Lokal memperlihatkan harapan hidupnya demokratisasi di Aceh. Saat ini masyarakat Aceh lebih leluasa dalam memperlihatkan sikap politiknya melalui Partai Politik Lokal yang terbentuk di Aceh.
Partai Politik yaitu sarana untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan untuk mendapat posisi/kedudukan yang di inginkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Rudianto dan sudjijono (2003:7) secara umum mendefinisikan bahwa partai politik yaitu suatu institusi (kelembagaan) sosial yang terorganisasi, tempat keberadaan orang-orang atau golongan - golongan yang sepandangan (sealiran) politik, berusaha untuk memperoleh serta menggunakan dan mempertahankan kekuasaan politik supaya sanggup menghipnotis kebijakan umum (mengikat masyarakat) dalam kehidupan kenegaraan. Oleh lantaran itu, keberadaan partai politik lokal di Aceh merupakan pecahan dari aspirasi tempat untuk menggiring partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik.
Dalam proses memajukan kehidupan pemerintahan dan kehidupan politik negara yang juga berperan yaitu seluruh masyarakat yang menjadi warga Negara Indonesia. Masyarakat yaitu pecahan dari manusia, yang mana insan pada hakikatnya yaitu makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu setiap insan mempunyai perbedaan harkat, martabat kemanusiaan, hak dan kewajiban serta tanggungjawab atas tindakannya sendiri. Hal ini merupakan sikap hidup insan yang beragam sesuai dengan kebutuhan hidupnya yang sebagian yaitu sebagai pelaku politik.
Partisipasi politik masyarakat (rakyat) dalam partai politik telah menurun hal itu dikarenakan kurangnya rekrutmen politik yakni proses penerimaan anggota gres yang dilakukan oleh partai politik pada ketika ini, belum lagi kurangnya pendidikan politik yang diberikan partai politik kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak terlalu terlibat dan berpartisipasi dalam kegiatan kegiatan partai politik bahkan masyarakat enggan terlibat sebagai pengurus partai politik, apalagi pada ketika ini partai politik hanya bisa memperlihatkan janji-janji kepada masyarakat dan itu membuat sebagian anggota masyarakat tidak akan mau terlibat dalam partai politik yang pada alhasil mereka harus ikut membohongi masyarakat bersama partai politiknya.
Dalam era reformasi ibarat kini ini partisipasi dan pertanggungjawaban politik setiap warga negara khususnya masyarakat awam tidak sanggup terealisasi secara lancar dan optimal. Sehingga banyak orang tidak sanggup memahami dimensi politik dan keberadaannya. Artinya, ia tidak tahu akan hak dan kewajiban serta pertanggung tanggapan politik disamping tidak mau memperlihatkan kontrol dan pengaruhnya kepada forum dan sistem politik yang ada. Maka bagi kebanyakan warga negara hanya sanggup berperan sebagaimana penentuan-penentuannya di tengah hiruk pikuk politik ketika kini ini.
Munculnya partai politik lokal merupakan hasil kesepakatan perdamaian di Aceh yang merupakan rangkaian penyelesaian konflik Aceh dengan pemerintah Indonesia melalui Penandatangan MoU (Memorendum Of Understanding) antara pemerintahan Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia merupakan awal dari harapan gres bagi seluruh masyarakat Aceh akan hidup yang lebih baik, aman dan damai. Pasca penandatangan MOU tersebut Aceh diberikan wewenang untuk sanggup hidup mandiri, baik itu dibidang ekonomi maupun politik dan hukum.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Lembaga Wali Nanggroe

Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pertolongan gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
Lembaga Wali Nanggroe bukan merupakan forum politik dan forum pemerintahan di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independen. Wali Nanggroe berhak memperlihatkan gelar kehormatan atau derajat adat kepada perseorangan atau lembaga, baik dalam maupun luar negeri yang kriteria dan tata caranya diatur dengan Qanun Aceh. Ketentuan mengenai Lembaga Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.

Tgk. Malek Mahmud (Wali Nanggroe Aceh ke-9)
Provinsi Aceh bakal mempunyai Wali Nanggroe (Wali Negara). Lembaga Wali Nanggroe yaitu forum kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat dan pelestarian kehidupan adat dan budaya. Lembaga itu lahir sebagai pecahan dari kesepakatan hening antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia, 15 Agustus 2005 kemudian di Helsinki, Finlandia. Ketentuan ini kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 wacana Pemerintahan Aceh.
“Qanun (perda) sudah disahkan tingkat DPRA, tinggal menunggu tanda tangan Gubernur Aceh. Secara prinsip gubernur telah setuju,” kata Abdullah Saleh, Sekretaris Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), kepada Tempo, Selasa, 6 November 2012.
Pengesahan dewan terhadap Qanun Wali Nanggroe dilakukan pada Jumat pekan kemudian dalam rapat paripurna DPRA. Setelah disahkan, qanun itu akan diedit dan revisi pada beberapa bagian, sebelum dibawa untuk ditandatangani gubernur Aceh dalam beberapa hari ke depan. “Editing penulisan, jangan salah titik koma dan revisi yang tidak terlalu mendasar,” ujar Abdullah Saleh.
Lembaga Wali Nangroe mempunyai prinsip sebagai pemersatu masyarakat Aceh yang independen dan berwibawa serta bermartabat, pembina keagungan dinul Islam, kemakmuran rakyat, keadilan, dan perdamaian. Juga pembina kehormatan dan kewibawaan politik, adat, tradisi sejarah, dan tamadun Aceh.
Menurut Abdullah Saleh, orang yang akan didapuk menjadi Wali Nanggroe nantinya yaitu Tgk. Malek Mahmud, yang merupakan mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dalam qanun disebutkan Malek Mahmud ditetapkan sebagai Wali Nanggroe ke-9, sehabis Wali Nanggroe sebelumnya, Tengku Hasan Muhammad di Tiro, meninggal dunia.
Tgk Malek Mahmud nantinya akan dinobatkan sebagai Wali Nanggroe Aceh melalui upacara adat. “Belum ada jadwal kapan penobatannya, masih dalam proses,” ucap Abdullah Saleh.


B.     Kemunculan Partai Politik Lokal Di Aceh
Semenjak Indonesia kembali kepada demokrasi multipartai di tahun 1999, hanya partai politik dengan basis organisasi bersifat nasional yang diijinkan untuk mengikuti pemilihan umum. Undang-Undang wacana Partai Politik (UU No. 2 tahun 2008), yang merupakan revisi dari Undang-Undang homogen sebelumnya, mensyaratkan sebuah partai politik untuk mempunyai cabang di 60 persen dari jumlah provinsi dan mempunyai kantor setidaknya di 50 persen dari kabupaten dan kota dalam provinsi yang bersangkutan1. Revisi Undang-Undang wacana partai politik ternyata telah mempersulit partai-partai gres untuk masuk ke dalam sistem.
Selain adanya persyaratan ambang batas perolehan bunyi untuk tubuh legislatif (parliamentary threshold) sebesar 2,5 persen, Undang-Undang wacana Partai Politik ini dirancang untuk membatasi masuknya partai-partai kecil ke dalam parlemen. Undang-Undang ini didasari oleh kekhawatiran akan adanya perpecahan sekaligus ketakutan historis akan hadirnya partai lokal. Semenjak tumbangnya demokrasi parlementer pada tahun 1950-an, partai politik lokal selalu dikaitkan dengan sentimen kedaerahan dan perpecahan. Pada tahun 1998, ketika gerakan separatis di dua titik paling ujung nusantara menguat seiring tumbangnya rejim Suharto, para penyusun perundangan khususnya berupaya memastikan bahwa partai-partai lokal dengan agenda-agenda kedaerahannya tidak masuk dalam reformasi demokratis yang berlangsung.
Meskipun antipati terhadap partai lokal merebak di Indonesia pasca Suharto, para pembuat kebijakan terpaksa mengkaji ulang informasi ini dalam konteks negosiasi hening antara Jakarta dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kelompok-kelompok yang terkait dengan GAM sudah berperang melawan negara Indonesia semenjak tahun 1970-an, akan tetapi kemungkinan perdamaian yang permanen gres terlihat di pertengahan tahun 2005. Dalam negosiasi hening yang dimotori mantan presiden Finlandia Marti Ahtisari, GAM untuk pertama kalinya mengindikasikan keinginan untuk melepaskan tuntutan kemerdekaan dan menggantikannya dengan tuntutan untuk mempunyai hak berpartisipasi dalam pemerintahan Aceh yang otonom. Juru runding GAM beropini bahwa GAM harus diijinkan untuk membentuk sebuah partai politik yang sanggup memfasilitasi masuknya kelompok ini ke dalam sistem politik. Meskipun inspirasi ini awalnya ditentang oleh Pemerintah Indonesia, tetapi GAM ketika itu mengajukan tawaran yang sulit untuk ditolak; penghentian gerakan separatisme yang telah aktif puluhan tahun di provinsi paling barat tersebut.

C.    Partai Lokal Sebagai Perwakilan Rakyat Aceh
1.      Partai Lokal Aceh: Transisi Terakhir
Salah satu butir kesepakatan dalm kesepakatan hening Helsinki yaitu partai lokal. Butir 1.2.1. (Partisipasi Politik) MoU Helsinki tertulis:
“Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun semenjak penendatangan Nota Kesepahaman ini, pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan Nasional. Memahami aspirasi masyarakat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintahan RI dalam tempo satu tahun, atau paling lambat18 bulan sejak penandatangan Nota Kesepahaman ini, akan membuat kondisi politik dan aturan untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan DPR. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang sempurna waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut”.
Produk aturan sebagai implementasi butir di atas yaitu dikeluarkan Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 2007 wacana partai politik lokal di Aceh. Respon masyarakat Aceh wacana keberadaan partai politik lokal positif. Survei Lembaga Suvei Indonesia (LSI) pada 28 Juli – 2 Agustus 2005 dan Maret 2006 memperlihatkan manyoritas masyarakat Aceh mendukung pembentukan partai politik lokal. Keberadaan partai lokal ini sudah pernah dilontarkan pakar politik Indonesia dari Ohio State University, Prof William Liddle beropini : Saya tentu maklum bahwa partai lokal tidak dibolehkan di Indonesia, tetapi kalau ada kemauan niscaya ada cara Aceh damai. Setidaknya beri kesempatan GAM ikut bersaing dalam pemilihan umum di Aceh.
Persiapan GAM mendirikan partai sudah terlihat tamat 2005. keinginan tersebut ditegaskan dalam pertemuan GAM sedunia di Banda Aceh pada 23-24 Mei 2006. Partai dibawah naungan GAM diresmikan setahun sehabis pertemuan tesebut.114 Bendera dan nama GAM digadang sebagai simbol yang dijual partai. Malik Mahmud dan Muzakir Manaf ditunjuk sebagai ketua dan wakil ketua, jabatan sekretaris Jenderal di pegang Tengku Muhammad Nazar. Pengguanaan Pengguanaan lambang dan nama GAM menuai protes. Tidak hanya dari internal GAM, Pemerintah dan dewan perwakilan rakyat menolak pengguanaan simbol tersebut. Usai pelantikan secretariat partai. Kepolisian kota besar Banda Aceh menyurati pimpinan Partai GAM untuk menurunkan atau menutup plang nama alasannya yaitu sudah melanggar perjanjian Helsinki. Menko Polhutkam Widodo AS dalam rapat kerja dengan komisi 1 dewan perwakilan rakyat tegas menyampaikan Partai lokal yang menampilkan atribut GAM tidak sesuai dengan semangat perdamaian Aceh.
Banyak pihak yang menaruh curiga terhadap pengguanaan nama dan lambang itu. Anggota GAM tidak akan menggunakan seragam maupun memperlihatkan emblem atau simbol militer sehabis penandatanganan nota kesepahaman. Eksistensi parpol lokal di Aceh memang tidak menjadi perdebatan yuridis lagi ketika UU No. 11/2006 (UU Pemerintahan Aceh) dan PP No. 22/2007 wacana Partai Politik Lokal di Aceh telah mengamanatkannya. Kehadirannya juga merupakan pecahan dari road map to peace process di Aceh ibarat yang tertuang dalam kesepakatan Helsinki, 15 Agustus 2005.
Pemilu 2009 merupakan arena pembuktian kekuatan bagi parlok dan alat ukur seberapa berpengaruh parnas masih bisa bertahan untuk merebut kursi-kursi di DPRA dan DPRKDPRK di Aceh. Dengan Undang-undang No. 11 tahuh 2006 pemilu 2009 menjadi lain, kesepakatan kontestan partai politik lokal membawa nuansa gres dalam sistem demokrasi di Indonesia. Lokal di Aceh telah mengamanatkannya. Kehadirannya juga merupakan pecahan dari road map to peace process di Aceh ibarat yang tertuang dalam kesepakatan Helsinki, 15 Agustus 2005.119 Pemilu 2009 merupakan arena pembuktian kekuatan bagi parlok dan alat ukur seberapa berpengaruh parnas masih bisa bertahan untuk merebut kursi-kursi di DPRA dan DPRK di Aceh.
Dengan Undang-undang No. 11 tahuh 2006 pemilu 2009 menjadi lain, kesepakatan kontestan partai politik lokal membawa nuansa gres dalam sistem demokrasi di Indonesia. Kehadiran parpol lokal menjadi titian penting bagi proses transisi politik Aceh. Kehadiran parpol lokal juga cermin bahwa proses berpolitik melalui jalur kepartaian yang terjadi selama ini ( melalui parpol nasional) tidak berjalan dengan sehat.
Tentu saja konflik militer telah mengakibatkan kemampuan melaksanakan partisipasi politik secara bebas tidak tercapai meskipun secara formal terdapat partai politik, parlemen, dan pemilu. Saat ini terlihat banyak aktifis parpol nasional dan mantan pejabat yang menentukan bergabung dan membentuk parpol lokal dibandingkan memperkuat parpol nasional yang telah mapan.

2.      GAM dan Partai Aceh
Keberanian menentukan dalam konteks dinamika politik Aceh ketika ini, antara lain diperlihatkan oleh GAM / KPA ketika harus mengganti nama, lambang, dan ideologi partai lokalnya kesekian kalinya. Itulah sejarah, kini sejarah itu kembali terjadi dalam konteks politik Aceh. Partai GAM kembali mengubah nama dan lambang dari Partai Gerakan Mandiri (GAM) menjadi Partai Aceh.122 Walaupun perubahan ini dilihat sebagai sejarah pahit bagi GAM pada periode pertama transformasi menjadi gerakan politik untuk memperjuangkan nasib rakyat Aceh.
Perubahan Partai GAM menjadi Partai Aceh merupakan sesuatu yang dilaksanakan dengan sangat sadar dan tulus, walaupun sebagian penganalisa politik melihat perubahan ini merupakan sesuatu tekanan dari pemerintah pusat terhadap GAM. Sehingga GAM tidak ada pilihan untuk menyelamatkan partai supaya bisa lolos dalam verifikasi yang dilakukan kanwil Depkumham Aceh. Tapi pemerintah segera menerbitkan aturan gres sehabis mereka melarang lambing Partai GAM. Di tamat Desember 2007, keluar Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 wacana Lambang Daerah. Aturan ini menjelaskan jenis lambang daerah, kedudukan dan fungsi, desain, hingga rincian aturan penempatan lambang dan logo daerah.
Pada ayat 4 pasal 6 pada Bab Desain Lambang Daerah tercantum kalimat ini : Desain logo dan bendera tempat dilarang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain dan logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi / perkumpulan / forum / gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik.  Logo dan bendera organisasi terlarang maupun gerakan separatis diterangkan dalam pecahan penjelasan. Yaitu , “logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.” Motif pelarangan pun jadi jelas. Bulan sabit dan bintang merupakan lambang yang digunakan Hasan Tiro sebagai lambang pada bendera Front Pembebasan Aceh Sumatera yang diproklamasikannya pada Desember 1976. Front itu kemudian dikenal dengan nama GAM, julukan yang diberikan pemerintah terhadap gerakan kemerdekaan Aceh.
Kini Partai GAM telah menjadi Partai Aceh yang mempunyai misi mentransformasikan sekaligus membangun wawasan berpikir masyarakat Aceh dari persepsi partai revolusi menjadi partai pembangunan. Walaupun ini bukanlah suatu masalah gampang terutama di kalangan mantan anggota GAM yang sudah terbiasa melaksanakan perlawanan dengan menggunakan senjata kemudian bermetamorfosis gerakan politik pembangunan. Memang semua ini membutuhkan waktu untuk mentransformasikan segala pemikiran tersebut. Bagi elite GAM mereka sadar peperangan yang telah dilakukan selama 30 tahun melawan pemerintah Indonesia tidak membawa hasil apa-apa kecuali kerugian jiwa dan harta benda masyarakat yang tidak berdosa.
Peperangan telah mengakibatkan pembodohan terhadap generasi Aceh serta kehancuran peradaban bangsa Aceh. Realita sejarah ini yang telah dialami selama peperangan 30 tahun di Aceh. Realita ini pula menjadikan kesadaran elite-elite GAM untuk melaksanakan usaha politik demokrasi untuk memperjuangkan masa depan Aceh yang lebih bermartabat. Bagaimana Partai Aceh mengambil semangat usaha dari aneka macam belahan dunia, ini menjadi aktivitas partai dalam menggariskan agenda-agenda pembelaan rakyat. Dengan demikian Partai Aceh akan benar-benar menjadi partai rakyat yang menjunjung tinggi kedaulatan dan kebebasan rakyat.
Partai Aceh perlu membuka diri kepada semua elemen untuk menjelaskan visi, misi dan aktivitas partai secara terbuka. Sehingga Partai Aceh akan benarbenar menjadi satu partai alternatif bagi usaha rakyat Aceh. Yang lebih penting Partai Aceh harus menjadi partai yang siap mempertaruhkan segala sesuatu untuk membebaskan rakyat Aceh dari segala penindasan, kebodohan dan penderitaan. Bukan sebaliknya Partai Aceh. hanya perlu kepada rakyat pada ketika berlangsungnya pemilihan umum.
Setelah wakil partai Aceh mendapat kekuasaan, mereka lupa kepada nasib rakyat yang telah memberi amanah perjuangan. Mereka telah menjadi asing kuasa. Kalau keadaan ini terjadi maka nasib rakyat Aceh tetap sama walaupun siapapun yang memerintah. Mereka tetap akan menjadi objek dan tidak pernah menjadi subjek. Cita-cita mewujudkan Aceh yang lebih aman, damai, tentram dan sejahtera akan terwujud dengan kemenangan dan kesederhanaan prilaku mereka.

3.      Partai Lokal Aceh dan Pemilu 2009
Secara umum pemilu 2009 memang berbeda dengan pemilu 2004. namun, yang menarik nanti yaitu ketika partai lokal menjadi peserta pemilu. Sehingga akan terjadi kompetisi antara partai nasional dengan partai lokal. Keberadaan partai lokal berdampak positif dalam memperkuat desentralisasi politik, memperpendek rentang kendali organisasi politik, memudahkan agregasi dan kepentingan rakyat, mempermudah saluran komunikasi politik, lebih memudahkan dalam memperjuangkan kepentingan dan identitas politik lokal dalam kebhinnekaan, serta mendorong partisipasi politik yang luas didaerah. Keberadaan partai local tidak perlu didikotomikan dengan format NKRI. Partai lokal justru bisa meningkatkan kedewasaan politik, apalagi keberadaan partai lokal tidak mungkin dihindari ditengah rendahnya kepercayaan publik terhadap partai nasional ketika ini. Bila partai lokal bekerjasama dengan partai nasional, bisa jadi partai lokal hanya perpanjangan tangan dari parati nasional. Bisa menjadi semacam onderbouw partai nasional didaerah.
Respon masyarakat Aceh wacana keberadaan partai lokal positif. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 28 Juli hingga 2 Agustus 2005 dan Maret 2006 memperlihatkan manyoritas rakyat Aceh mendukung pembentukan partai lokal.136 Keberadaan partai lokal ini sudah pernah dilontarkan pakar politik Indonesia dari Ohio State University, Prof. William Liddle, beropini ”saya tentu maklum bahwa partai lokal tidak diperbolehkan di Indonesia, tetapi kalau ada kemauan niscaya ada cara Aceh damai. Setidaknya beri kesempatan GAM ikut bersaing dalam pemilihan umum di Aceh.

D.    Pengaruh Partai Lokal Terhadap Demokrasi di Aceh
Partai politik lokal merupakan wadah gres bagi kemajuan politik dan demokratisasi Aceh pasca konflik dan peristiwa tsunami. Ada banyak harapan bagi tumbuhnya partai politik lokal yang bisa menopang demokrasi serta disisi lain sebagai alat politik bagi usaha kesejahteraan rakyat Aceh, mungkinkah hal ini terwujud? Ditengah pesimisme masyarakat terhadap partai politik yang seringkali hanya menjadi alat sebagian elit dan hanya berfungsi ketika pesta Pemilu berlangsung.
Melihat persoalan-persoalan yang ada, perlu kiranya untuk memperlihatkan perhatian pada usaha mendorong dimensi-dimensi fundamental keterwakilan politik lokal, lebih dari sekadar Pemilu dan kebebasan untuk membentuk partai. Perlu diingat dalam bentuknya yang kini ini, partai-partai justru merupakan pecahan dari problem lemahnya representasi politik. Sebagian besar partai-partai politik kita tidak mewakili gagasan dan kepentingan vital rakyat pada umumnya. Namun perbaikan harus dilakukan di sektor yang strategis ini. Bagaimanapun partai politik masih merupakan instrumen demokrasi yang sangat penting di Aceh.
Selain itu ada dua hal yang juga penting untuk diperhatikan melihat situasi Aceh akhir-akhir ini yang mulai marak dengan berdirinya partai-partai lokal. Pertama, andanya aturan yang terang dan tegas wacana Partai Politik lokal, selain ketentuan wacana persyaratan, hak, dan kewajiban partai nasional dan lokal. Ketentuan melarang aspirasi separatisme dan sikap yang bermusuhan dan diskriminasi terhadap kelompok lain sanggup menjadi pecahan dari aturan wacana partai politik lokal.
Hal ini penting, lantaran tanpa kedewasaan dan pengaturan yang jelas, kehadiran partai lokal ini akan menjadi kasus gres bagi kemajemukan itu sendiri. Kedua, pengaturan sistem kepartaian akan menjadi pekerjaan yang mubazir, kalau masyarakat sendiri tidak mempunyai political literacy yang memadai. Bagaimanapun juga pelaksanaan demokrasi yang bekerjsama tidak sanggup hanya terbatas pada tataran prosedural semata. Kita semua mempunyai tanggung jawab berupa peningkatan kesadaran politik rakyat melalui pendidikan politik. Keberhasilan aktivitas ini dibutuhkan bisa mengatasi setidaknya meminimalisir kecenderungan dissilusioned voting.

1.      Thamren Ananda (Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Aceh)
Adanya partai politik lokal juga nasional, dalam mendorong proses demokrasi di Aceh, secara teori itu memang merupakansuatu proses demokrasi. Karena Partai Politik merupakan sekolah politik, sekolah praxis bagi rakyat pada umumnya dan bagi kader partai pada khususnya yang paling modern. Dalam hal ini, apabila suatu partai politik telah melaksanakan fungsinya sebagai sekolah politik, maka bisa dikatakan proses demokrasi telah terjadi.
Masalahnya, telah terjadi kecelakaan sejarah di Indonesia, selama pasca kemerdekaan Indonesia hingga pada hari ini, tidak ada partai politik yang berfungsi sebagai jembatan atau alat bagi para elit-elit partai untuk duduk di dingklik kekuasaan. Jika partai politik lokal di Aceh kedepan masih mengikuti jejak sejarah partai politik nasional, maka partai politik lokal tidak bisa mendorong proses demokrasi. Jika pendidikan politik dan kaderisasi dalam suatu partai politik tidak dilakukan, maka yang terjadi yaitu pengotakan-pengotakan inspirasi dan gagasan. Kenapa saya sebutkan pengotakan-pengotakan, lantaran apabila proses ini tidak terjadi maka rakyat Aceh akan terkotak-kotak kedalam aneka macam kelompk yang mendukung partai. Karena rakyat akan menentukan aneka macam partai politik bukan lantaran aktivitas yang ditawarkan oleh partai, melainkan rakyat akan menentukan partai lantaran lambangnya, lantaran pengurusnya, lantaran tokohnya, lantaran namanya, atau lantaran ada saudaranya. Jadi, rakyat hanya terjebak pada simbolisme.
Jika aneka macam partai politik melakukanpendidikan politik terhadap rakyat, partai politik telah memfungsikan dirinya sebagai sekolah politik, maka rakyat Aceh akan menentukan Partai Politik lantaran programatik yang ditawarkan, lantaran impian membangun Aceh menjadi lebih baik. Ini yang harus dilakukan oleh partai politik lokal di Aceh, kalau kita hendak membawa Aceh menjadi lebih baik, membawa Aceh menuju Aceh Baru yang berbeda dari Aceh masa lalu. Jika aneka macam partai politik tidak melaksanakan pendidikan politik, maka partai politik tersebut akan melaksanakan aneka macam cara yang anti demokrasi untuk memenangkan Pemilu. Contoh, ketika Aceh masih berada dalam situasi yang tidak kondusif, yakni masa DOM, partai-partai politik yang ada ketika itu tidak melaksanakan pendidikan politik terhadap rakyat melainkan melaksanakan pemaksaan terhadap rakyat untuk menentukan salah satu partai dengan tekanan apabila tidak menentukan maka dianggap sebagai separatis.

2.      Tgk. Adnan Beuransah (Juru Bicara Partai Aceh)
Jika kita berbicara demokrasi di Aceh, maka kita dilarang lupa bahwa titik awal proses ini yaitu pada 15 Agustus 2005, sehabis penandatanganan MoU di Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintahan Republik Indonesia. Maka, salah satu point yang disebutkan dalam butir MoU tersebut, yakni point 1.2.1 “hingga melahirkan partai politik lokal di Aceh sesegera mungkin, tetapi dilarang lebih dari 1 tahun semenjak penandatanganan nota kesepahaman ini. Pemerintah RI yang menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional”.
Berdasarkan poin tersebut, yang dijabarkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh No. 11 pada pasal 75 hingga pasal 95 wacana partai politik. Kemudian dituangkan lagi dalam PP. No. 20 Tahun 2007, wacana partai politik local di Aceh. Maka, menurut ketentuan undang-undang tersebut lahirlah sejumlah partai politik lokal yang ada kini ini. Artinya, ada relasi antara tugas pemerintah dan partai-partai politik dalam menjamin terwujudnya demokrasi di Aceh. Proses demokrasi ini bukan hanya menjadi tanggung jawab dari partai lokal yang telah terbentuk ini saja, melainkan juga dibutuhkan kemauan politik dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemrintahan Aceh, bahkan hingga ke tingkatan terkecil yakni pemerintah kecamatan. Jika kerjasama ini sudah terwujud, maka demokrasi akan berjalan di Aceh. Tetapi kalau upaya demokratisasi Aceh hanya tiba dari partai politik lokal semata, akan terjadi kesenjangan. Artinya terjadi ketidaksesuaian proses demokrasi di Aceh. Sebab ibarat yang kita lihat hingga hari ini, di lapangan masih saja terjadi intimidasi, penurunan plang nama partai, dan lain-lain. Oleh lantaran itu harus dibangun suatu komunikasi yang intens antara para pihak. Terutama antara pihak partai local dengan pihak keamanan, baik kepolisian, dan militer.


BAB III
PENUTUP
  
A.    Kesimpulan
Demokrasi yaitu alat untuk menjinakkan separatisme. Demokrasi yang berkembang selama ini di Indonesia yaitu demokrasi yang sarat dengan fasilitas politik. Setiap kasus politik, semisal kasus disintegrasi dan pemberontakan, akan menemukan muaranya dalam demokrasi. Kecuali pada kelompok-kelompok pencetus separatis dan pemberontak yang tidak mau menggunakan demokrasi, setiap gerakan separatis dan pemberontakan lokal akan jinak dan lunak di dalam demokrasi.
Partai politik yaitu suatu institusi (kelembagaan) sosial yang terorganisasi, tempat keberadaan orang-orang atau golongan - golongan yang sepandangan (sealiran) politik, berusaha untuk memperoleh serta menggunakan dan mempertahankan kekuasaan politik supaya sanggup menghipnotis kebijakan umum (mengikat masyarakat) dalam kehidupan kenegaraan. Oleh lantaran itu, keberadaan partai politik lokal di Aceh merupakan pecahan dari aspirasi tempat untuk menggiring partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik.

B.     Saran
Rekomendasi hasil penelitian ini adalah: GAM harus sedikit lebih sabar lantaran apa yang mereka tuntut sama dengan tuntutan seluruh warga masyarakat. Pemerintah sendiri sepertinya menolak tuntutan kehadiran partai lokal bukan lantaran ganjal an substansial, tetapi alasan yuridis formal (MoU) yang harus ditaati.228 Dengan demikian, kini bola ada di parlemen. Mudah-mudahan momentum ini menjadi awal terjadinya perdamaian abadi di Provinsi NAD.


Daftar Pustaka


Alfian. Teuku Ibrahim, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Pusat Dekumentasi dan
Informasi Aceh. Banda Aceh. 1999

......................., Segi-Segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh. LEKNAS, Jakarta, 1977

Ali, Abdullah, Gonggong et al. Aceh Merdeka Dalam Perdebatan. Citra Putra Bangsa, Jakarta,1999

......................., Perihal Demokrasi.... Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat (terj. A. Rahman Zainuddin). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta 1992

Demos. Laporan Perkembangan Demokrasi di Aceh. Banda Aceh: Demos. 2007.

Djohan, Azhar, Ekonomi Masyarakat Aceh Selatan Dalam Perspektif Historis, Seminar sejarah dan Kebudayaan Masyarakat Aceh Selatan. 1989Basri,

Muhammad Hasan dkk, Perang Kolonia Belanda Di Aceh, Banda Aceh, 1997

......................................, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi, Ar-Raniry Press, Banda Aceh. 2003

Dahl, Robert, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, (terj. A. Rahman Zainuddin). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta 2001

Haryanto, drs. Partai PolitikSuatu Tinjauan Umum, liberty, yogyakarta, 1984.

Hamid, Ahmad Farhan, Jalan Damai Nanggroe Endatu, catatan seorang wakil rakyat Aceh,

Selengkapnya Klik DOWNLOAD

0 Response to "Pengaruh Partai Lokal Terhadap Demokrasi Di Aceh"