Revolusi Layanan Perpustakaan Berbasis Teknologi Informasi

Revolusi Layanan Perpustakaan Berbasis Teknologi Informasi



Abstrak

Fungsi yang diemban oleh Perpustakaan Nasional RI tidak ringan sehingga perlu suatu langkah cerdas yang harus ditempuh yaitu dengan memberdayakan keberadaan teknologi informasi dan bukan sekedar menggunakannya untuk menggantikan layanan manual. Teknologi informasi dan perpustakaan sanggup diibaratkan sebagai "dua sisi dari satu mata uang yang sama", dimana TI akan memudahkan perpustakaan dalam mengaplikasikan konsep administrasi ilmu pengetahuan. Perpustakaan berperan untuk menyiapkan masyarakat semoga "siap menikmati" TI, namun ironisnya hingga ketika ini kesiapan masyarakat untuk mengoptimalkan TI belum maksimal. Peningkatan kualitas layanan sangat terkait dengan kedudukan Perpustakaan Nasional RI sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian dan pusat jejaring perpustakaan sehingga pada risikonya sanggup mengatakan layanan yang terbaik kepada masyakarat. Untuk mendukung peningkatan kualitas layanan diharapkan pula revolusi sumber daya manusia, khususnya kualitas pustakawan guna meningkatkan apresiasi pustakawan terhadap TI yang pada risikonya akan memperkuat kedudukan pustakawan dalam menghadapi pesatnya perkembangan TI.


Kata Kunci

Teknologi informasi; Perpustakaan; Layanan; Pustakawan


Pengarang


Romi Febriyanto Saputro

Subyek

Perpustakaan, pelayanan,Teknologi Informasi



A. Pendahuluan
Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, Perpustakaan Nasional yakni forum pemerintah non departemen yang melaksanakan kiprah pemerintahan dalam bidang perpustakaan yang berfungsi sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian dan pusat jejaring perpustakaan, serta berkedudukan di ibukota negara.

Mencermati paragraf di atas, terlihat bahwa fungsi yang diemban oleh Perpustakaan Nasional RI tidaklah ringan. Perlu suatu langkah yang cerdas semoga aneka fungsi tersebut sanggup terealisasi dengan baik. Salah satu langkah cerdas yang sanggup ditempuh yakni dengan memberdayakan keberadaan teknologi Informasi dan bukan sekedar menggunakannya untuk menggantikan layanan manual.

Aneka fungsi di atas tidak akan terealisasi dengan baik bila tidak ditunjang dengan pemberdayaan teknologi Informasi. Dengan teknologi Informasi, aneka fungsi tersebut akan lebih terasa keuntungannya oleh masyarakat. Dengan kata lain teknologi Informasi akan bisa meningkatkan kualitas layanan Perpustakaan Nasional RI.

B. Teknologi Informasi 
Teknologi Informasi (selanjutnya disingkat TI) yakni suatu teknologi yang dipakai untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam banyak sekali cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan sempurna waktu, yang dipakai untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk pengambilan keputusan. Teknologi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan teknologi telekomunikasi dipakai semoga data sanggup disebar dan diakses secara global (Wawan Wardiana, 2002)

Melihat perkembangan TI di tanah air terasa mirip ada sesuatu yang salah. Ibaratnya seperti, "sayur tanpa garam". Kebangkitan Korea Selatan dengan TI menarik untuk dipergunakan sebagai "pisau analisa" untuk membedah fenomena ini. Negara ini terbukti bisa menjadi pemain utama sebagai negara produsen TI.

Korea yakni negara pertama yang meluncurkan produk layanan telepon mobile CDMA secara komersial pada tahun 1996. Dua tahun kemudian, jasa layanan internet broadband yang pertama di dunia juga diluncurkan di negeri ini. Disusul capaian spektakuler lain, mirip digital broadcasting (2001), peluncuran e-government (2002), pembangunan layanan percontohan Wireless Broadbank Internet/Wibro (2004), dan peluncuran Digital Multimedia Broadcasting/DMB (2005).

Booming industri teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadi salah satu faktor penting di balik cepat pulihnya ekonomi Korsel dari krisis finansial 1997 dan menjadi perekonomian yang jauh lebih kuat. Dalam tiga tahun transaksi e-commerce meningkat dari 7,2 juta transaksi (2003) menjadi 12,8 juta (2006). Ekspor produk ICT pun melonjak dari 48,4 miliar dolar AS (2001) menjadi 113,3 miliar dollar AS (2006). Sumbangan komponen ICT dalam produk domestik bruto (PDB) riil nasional melonjak dari 10,1 persen (2001) menjadi 16,2 persen pada kurun waktu yang sama.

Pertumbuhan pesat internet dari industri ICT ini dipicu oleh dua hal. Faktor pertama, cepatnya penyesuaian masyarakat terhadap teknologi baru. Antusiasme ini tak bisa dilepaskan dari budaya self education Bangsa Korsel. Revolusi di bidang teknologi digital tak mungkin terjadi tanpa ada dukungan konsumen yang sangat terbuka pada teknologi dan penemuan baru.
Tingkat penetrasi internet di level rumah tangga mencapai hampir 80 persen, sementara di kalangan industri hampir 100 persen. Internet dengan cepat menggantikan TV sebagai sumber utama informasi. Dari ibu rumah tangga, siswa SD, pedagang kecil, hingga pekerja kantoran sudah memanfaatkan jasa internet. Dalam empat tahun, pendapatan bisnis jasa internet melonjak 10.000 persen dari 36,4 miliar won (1999) menjadi 3.700 miliar won (2003)

Faktor kedua yakni ketatnya persaingan antar penyedia jasa internet, mirip Korea Telecom, Hanaro, dan Thrunet, yang mengakibatkan konsumen bisa menikmati harga murah. Tak kalah penting yakni dukungan kebijakan pemerintah lewat taktik IT839 dan e-korean acara melalui pembangunan jaringan infrastruktur informasi dan komunikasi berkecepatan tinggi semenjak 1995.

Hasilnya, Korsel berhasil mewujudkan ambisi menjadi information society pada kala ke-21, jauh lebih cepat dari yang ditargetkan. Dalam indeks informatisasi global, posisi Korsel terus meningkat dari urutan 22 (1998) menjadi 12 (2003) dan 3 (2005). Untuk Digital Oppurtinity Index yang disusun International Telecommunication Union, Korsel di urutan teratas selama dua tahun berturut-turut. Sebagai kota, ibu kota Seoul juga masih tetap teratas dalam e-gonernance, mengalahkan Hongkong, Heksinki, Singapura, Madrid, dan London. Basis pengetahuan dan kultur baca tulis yang berpengaruh merupakan diam-diam utama kesuksesan Korea. Basis pengetahuan yang berpengaruh memungkinkan Korea untuk melaksanakan loncatan besar dalam sebuah creative innovation, hingga risikonya bisa melaksanakan penemuan sendiri dan menjadi negara maju ketika ini. 

Ketika perang Vietnam usai dan Presiden Amerika memperlihatkan pertolongan untuk Korea atas jasanya selama perang tersebut, tak banyak yang diminta Presiden Park ketika itu. Amerika risikonya membangunkan untuk Korea laboratorium Iptek besar yang kemudian berjulukan KIST (Korean Institute of Science and Technology). KIST inilah yang mempunyai kiprah besar dalam membangun basis pengetahuan yang berpengaruh di Korea.

Basis pengetahuan yang berpengaruh akan sulit diwujudkan tanpa adanya kultur baca tulis yang berpengaruh pula. Hampir semua informasi dan ilmu pengetahuan tersedia dalam bentuk goresan pena (buku, majalah, jurnal, koran, brosur, pamflet, dsb). Informasi dalam bentuk goresan pena mempunyai banyak keunggulan dibanding media-media dalam bentuk lain. Walaupun sekarang telah tersedia internet yang membantu kita menyediakan banyak sekali informasi, tapi buku tetap menjadi instrumen utama. Kebijakan yang paling penting dalam mendorong budaya baca tulis ini yakni adanya perpustakaan.

TI dan perpustakaan sanggup diibaratkan sebagai "dua sisi dari satu mata uang yang sama". Keberadaan TI akan memudahkan perpustakaan dalam mengaplikasikan konsep administrasi ilmu pengetahuan. TI akan memudahkan perpustakaan dalam melaksanakan pengembangan pangkalan data, penelusuran informasi, transformasi digital, dan promosi. TI tanpa dukungan perpustakaan hanya akan menghasilkan teknologi konsumtif, teknologi yang mandul. Perpustakaan berperan meletakkan dasar yang berpengaruh untuk membentuk masyarakat yang melek informasi. Masyarakat yang bisa memberdayakan informasi bukan sekedar mengkonsumsi informasi. Jadi, perpustakaan berperan untuk menyiapkan masyarakat semoga "siap menikmati" TI.

Kesiapan ini cukup penting semoga masyarakat sanggup memaksimalkan kiprah TI untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Ironisnya, hingga ketika ini kesiapan masyarakat untuk mengoptimalkan TI belum menggembirakan. Fenomena ketidaksiapan ini, tampak pada :

Pertama, fenomena pornografi dan chatting di internet. 
Masyarakat yang tidak siap hanya akan tertarik dengan informasi sampah yang ada di internet dan alergi dengan informasi penuh gizi yang juga disediakan oleh internet. Realitas menandakan hampir delapan puluh persen pengguna internet kita menyukai situs-situs yang mengandung pornografi dan pornoaksi. Internet juga hanya dipergunakan untuk keperluan yang tidak produktif semacam "chatting" yang merupakan kemasan gres dari kebiasaan "ngerumpi" masyarakat. Dalam hal ini adanya internet malah makin mengukuhkan tradisi verbal bukan tradisi baca dan tulis masyarakat.

Kedua, fenomena hotspot. Hotspot dengan gampang bisa ditemukan di setiap tempat. Sekolah, kampus, kedai, angkringan, kafe, dan mal. Dengan hanya bermodalkan laptop dan duduk lesehan di kafe, seseorang bisa berselancar sepuasnya di dunia maya. Hal inilah yang mendorong meningkatnya penjualan laptop. Namun ironisnya, demam hotspot yang ketika ini melanda masyarakat belum memicu bangkitnya kesadaran untuk memanfaatakan teknologi dan hanya memperlihatkan perayaan konsumerisme belaka. Menurut Arie Sujito (2008), sosiolog Universitas Gadjah Mada, demam hotspot yang terjadi gres sebatas demam isu gaya hidup. Yakni masih sebatas sebagai pengguna dan belum benar-benar memanfaatkan teknologi itu untuk meningkatkan kualitas pribadi. Buktinya, tempat hotspot yang sering diserbu bukan perpustakaan melainkan kafe atau mall.

Ketiga, fenomena buku paket elektronik dari Depdiknas. Sekolah diperkirakan tidak bisa menggunakan buku paket elektronik secara maksimal dengan terbatasnya sarana dan prasarana pendukung, mirip komputer yang terkoneksi internet. Sekolah harus mengeluarkan biaya besar untuk mengadakan teknologi pendukung buku paket elektronik tersebut.

C. Revolusi Layanan
Pada kepingan pendahuluan, penulis sudah sedikit mengungkapkan ihwal urgensi peningkatan kualitas layanan Perpustakaan Nasional RI. Peningkatan kualitas layanan ini sangat terkait dengan kedudukan Perpustakaan Nasional RI sebagai perpustakaan pembina, perpustakaan rujukan, perpustakaan deposit, perpustakaan penelitian, perpustakaan pelestarian dan pusat jejaring perpustakaan. Keenam fungsi ini dituntut sanggup mengatakan layanan yang terbaik kepada masyarakat. Dengan kata lain sanggup mengatakan kepuasan kepada pemustaka di seluruh pelosok tanah air.

Peningkatan kualitas layanan secara holistik ini lebih sempurna disebut dengan istilah "Revolusi Layanan". Mengapa? Karena untuk mencapainya diharapkan usaha dan pengorbanan yang heroik dari semua unsur di Perpustakaan Nasional RI. Perlu kerja keras dan kolaborasi semua pihak dalam mengatakan kepuasan kepada pemustaka.

Revolusi layanan perpustakaan diharapkan sanggup membawa Perpustakaan Nasional RI menjadi perpustakaan penelitian. Menurut Soeatminah (1999) ada tiga tahap perkembangan perpustakaan, pertama, tahap gudang buku (Store House Period). Dalam tahap ini, perpustakaan hanya berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan dan merawat buku, dengan tujuan utama menyelamatkannya dari kerusakan.

Kedua, tahap layanan (Service Period). Tahap ini ditandai dengan meningkatnya jumlah koleksi materi pustaka dan jumlah masyarakat pemakainya. Bidang layanan perpustakaan menerima tantangan dari masyarakat pengguna yang berharap sanggup memperoleh layanan yang baik.

Ketiga, tahap pendidikan dan penelitian (Educational and Research Period). Perpustakaan pada tahap ini berfungsi sebagai tempat untuk mendidik dan membuatkan masyarakat penggunanya. Perpustakaan dituntut untuk bisa memberi kepuasan kepada masyarakat pemakainya dalam membuatkan ilmu pengetahuan, terutama bagi mereka yang betul-betul menekuni bidang ilmunya. Perpustakaan bagi pendidik dan peneliti merupakan penyalur informasi sekaligus sebagai sumber inspirasi.

1. Revolusi layanan perpustakaan pembina.

Sebagai perpustakaan pembina, Perpustakaan Nasional RI dituntut untuk mengatakan layanan ihwal tata cara pengelolaan perpustakaan yang baik dan benar kepada seluruh perpustakaan yang ada di tanah air. Situs resmi Perpustakaan Nasional RI mesti memuat buku ajaran penyelenggaraan perpustakaan yang gampang diakses oleh publik. Tata cara pengolahan materi pustaka mirip : klasifikasi, inventarisasi, pemasangan kelengkapan buku, dan katalogisasi merupakan sajian yang wajib ada dalam website Perpustakaan Nasional RI. Demikian pula dengan tata cara layanan perpustakaan, juga harus menjadi kepingan dari "menu" training tersebut.

Perpustakaan Nasional RI sanggup menciptakan buku ajaran pembagian terstruktur mengenai DDC (Decimal Dewey Classification), ajaran tajuk subyek, dan Peraturan Katalogisasi Indonesia dalam bentuk buku digital yang bebas didownload oleh pengelola perpustakaan maupun masyarakat. Selama ini publik masih mengalami kesulitan untuk memperoleh buku-buku yang notabene merupakan "kitab suci" dunia perpustakaan di tanah air. Dengan kebijakan ini diharapkan segala peraturan yang berkaitan dengan dunia perpustakaan makin dipahami oleh pengelola perpustakaan di tanah air.

Modul-modul diklat yang selama ini diproduksi oleh Pusat Diklat Perpustakaan Nasional RI sanggup dibentuk dalam format digital dan ditampilkan dalam situs resmi Perpustakaan Nasional RI semoga sanggup diakses publik secara terbuka. Selama ini yang ada dalam website hanya buku-buku yang sanggup dikategorikan dalam "pedoman umum dan petunjuk umum". Belum secara spesifik dan rinci mengajarkan ilmu perpustakaan dan kepustakawanan. Dengan demikian mereka yang awam ihwal perpustakaan pun diharapkan sanggup secara cepat dan mudah memahami dunia perpustakaan.

Selain itu, dengan digitalisasi modul-modul berguru tersebut Pusdiklat Perpustakaan Nasional RI juga sanggup menggelar acara diklat perpustakaan jarak jauh. Diklat perpustakaan jarak jauh ini merupakan wujud mudah pemberdayaan TI untuk semakin mempercepat proses training perpustakaan di tanah air.

2. Revolusi layanan perpustakaan rujukan. 
Arah pengembangan revolusi layanan referensi yakni terwujudnya perpustakaan bibit unggul (hybrid library). Christine L Borgman (2003), mengungkapkan bahwa perpustakaan bibit unggul yakni perpustakaan yang didesain untuk mengelola teknologi dari dua sumber yang berbeda, yaitu sumber elektronik dan sumber koleksi yang tercetak yang sanggup diakses melalui jarak erat maupun jarak jauh.

Berbeda dengan perpustakaan digital, konsep perpustakaan bibit unggul berusaha mempertahankan koleksi tercetak, bukan menggantikan semuanya dengan koleksi digital. Perpustakaan bibit unggul mempunyai koleksi tercetak yang permanen dan setara dengan koleksi digitalnya. Perpustakaan bibit unggul berusaha memperluas konsep dan cakupan jasa informasi, sehingga penambahan koleksi digital dan penggunaan teknologi komputer tidak bisa dipisahkan dari jasa berbasis koleksi tercetak.

Negara yang termasuk paling aktif melaksanakan penelitian dan pengembangan konsep perpustakaan bibit unggul yakni Inggris. Negara ini menyelenggarakan lima proyek perpustakaan hibrida, masing-masing diberi nama BUILDER, AGORA, MALIBU, Headline, dan Hylife. Kelimanya merupakan kepingan dari proyek besar E-Lib. Masing-masing proyek ini mempunyai ciri tersendiri namun secara bersama mereka mencari cara terbaik membuatkan jasa perpustakaan dengan memanfaatkan teknologi terbaru.

BUILDER Hybrid Library, dikembangkan di University of Birmingham untuk mempelajari dampak perpustakaan bibit unggul terhadap pemakai di perguruan tinggi, mulai dari mahasiswa, pengajar, hingga para pengelola kampus. Proyek ini berkonsentrasi pada pengamatan ihwal lingkungan penyediaan jasa informasi yang menggabungkan jasa perpustakaan biasa dan jasa elektronik. Kebetulan, pada ketika bersamaan University of Birmingham juga sedang membuatkan lingkungan berguru gres yang memanfaatkan teknologi komputer.

AGORA merupakan sebuah konsorsium yang dipimpin oleh University of East Anglia dengan konsentrasi pada Hybrid Library Management System. Dalam proyek ini, perhatian diberikan kepada pengembangan sistem informasi berbasis konsep "cari-temukan, diminta-sajikan". Berbagai eksperimen dilakukan untuk membuatkan sebuah layanan terintegrasi, menggunakan standar Z39.50, yang menyatukan banyak sekali fungsi dan jasa perpustakaan ke dalam satu layanan berbasis web. Pemakai diharapkan sanggup terbantu oleh sebuah layanan yang serupa untuk banyak sekali macam keperluan menggunakan banyak sekali jenis media, baik yang ada di koleksi lokal perpustakaan, maupun yang ada di koleksi perpustakaan yang lain.

MALIBU dikembangkan oleh King’s College London. Khusus untuk mempelajari pengembangan perpustakaan bibit unggul di bidang ilmu budaya (humanities). Menarik untuk dicatat, proyek ini mempelajari pula kemungkinan keterlibatan para pemakai jasa dengan mengajak mereka menciptakan sebuah User Scenario. Para teknolog dan pustakawan kemudian menerapkan skenario ini pada rencana pengembangan dan administrasi jasa.

Headline Project dikerjakan oleh London School of Economics, bereksperimen dengan lingkungan jasa informasi personal dengan membuatkan sebuah portal yang memungkinkan para pengguna perpustakaan mengakses informasi secara digital maupun manual secara terintegrasi. Portal ini sanggup diubah sesuai selera pengguna dan mengatakan kemudahan untuk menghimpun pengguna yang mempunyai kepentingan sama dalam satu kelompok khusus.

HuLife di University of Northumbria memfokuskan diri pada masalah-masalah non-teknologi untuk memahami bagaimana cara terbaik mengoperasikan perpustakaan hibrida. Salah satu hasil proyek ini yakni Hybrid Library Toolkit, sebuah panduan yang ingin membuatkan jasa elektronik mereka yang sesuai dengan kebutuhan institusi.

3. Revolusi layanan perpustakaan deposit. 
Salah satu kiprah dan fungsi Perpustakaan Nasional RI yakni sebagai pusat deposit terbitan nasional dalam melaksanakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 ihwal serah simpan karya cetak dan karya rekam. Berdasarkan undang-undang tersebut, Perpustakaan Nasional dan Perpustakaan Nasional Provinsi menerima kiprah untuk melaksanakan penghimpunan, penyimpanan, dan pelestarian materi karya cetak dan karya rekam yang dihasilkan di wilayah Indonesia.

Namun upaya untuk menghimpun terbitan nasional ini masih mengalami hambatan, antara lain masih kurangnya kesadaran penerbit, terutama penerbit pemerintah, untuk menyerahkan terbitannya kepada Perpustakaan Nasional RI guna dilestarikan. Hambatan ini diperparah dengan adanya kebijakan otonomi daerah yang mengakibatkan Perpustakaan Nasional Provinsi menjadi asset Pemerintah Provinsi.

Dari terbitan buku per tahun sebesar 7.500 judul (hasil survei kajian terbitan buku tahun 2002 dan 2003 di Indonesia oleh Perpustakaan Nasional bekerja sama dengan Lembaga Penelitian IPB), gres 375 judul (tahun 2002) dan 400 judul (tahun 2003) yang diserahkan penerbit kepada Perpustakaan Nasional. Sebagian besar dari yang diserahkan itu terdiri dari terbitan non-pemerintah.

Untuk mengoptimalkan pengumpulan serah-simpan karya cetak dan karya rekam Perpustakaan Nasional RI dan perpustakaan daerah provinsi harus melaksanakan "layanan jemput bola". Untuk memaksimalkan hasil layanan jemput bola, libatkan keberadaan perpustakaan umum kabupaten/kota. Lagi pula ketika ini yakni era otonomi daerah, sehingga masuk akal bila perpustakaan umum kabupaten/kota menerima kiprah yang cukup signifikan.

Setiap bulan perpustakaan umum kabupaten/kota sanggup diminta partisipasinya untuk memantau jumlah penerbitan karya cetak dan karya rekam gres di masing-masing kabupaten/kota di tanah air. Perpustakaan umum kabupaten/kota juga sanggup dijadikan sebagai tempat transit sementara bagi penerbit/pengusaha rekaman yang ingin menyerahkan karya cetak/karya rekam terbarunya. Selanjutnya perpustakaan umum kabupaten/kotalah yang mengirimkan kepada perpustakaan daerah provinsi untuk diteruskan kepada perpustakaan nasional. Dengan demikian penerbit dan pengusaha rekaman tak perlu repot-repot menyerahkan sendiri ke perpustakaan nasional.

Layanan jemput bola ini akan semakin efektif bila disatukan dengan desentralisasi pemberian nomor ISBN (International Standart Book Numbers) dan barcode harga yang sangat diharapkan penerbit untuk memasarkan produknya baik di dalam maupun luar negeri/internasional.

Dengan desentralisasi ISBN, maka penerbit cukup mengurus ISBN di perpustakaan umum kabupaten/kota yang dirancang online dengan perpustakaan daerah provinsi dan perpustakaan nasional. Desentralisasi ISBN akan semakin memudahkan proses pemantauan dan pengumpulan karya cetak dari penerbit lantaran dilayani secara eksklusif oleh perpustakaan umum kabupaten/kota. Layanan penerbitan ISBN yang terpadu dengan layanan untuk mendapatkan serah-simpan karya cetak ini diharapkan sanggup meminimalkan tidak terdeteksinya penerbitan buku gres oleh perpustakaan mirip yang terjadi selama ini.

Untuk lebih meningkatkan partisipasi penerbit, Perpustakaan Nasional RI sanggup mengatakan alternatif kepada penerbit untuk mengirimkan buku terbitannya dalam bentuk buku digital. Buku digital ini sanggup dimuat di situs deposit Perpustakaan Nasional RI semoga sanggup diakses oleh publik.

Publik sanggup membuka layanan buku digital ini, namun tidak sanggup mendownload buku ini. Dalam hal ini perpustakaan deposit juga berfungsi sebagai media promosi buku gres sehingga akan menguntungkan penerbit buku. Jika seseorang menghendaki buku gres tersebut, sanggup membeli secara eksklusif di toko buku.

4. Revolusi layanan perpustakaan penelitian/riset. 
Revolusi layanan ini sanggup dimulai dengan membuatkan Perpustakaan Nasional RI sebagai pusat riset/penelitian. Perpustakaan riset punya banyak sekali ciri, yaitu,

Pertama, koleksinya yang komprehensif dan mengarah khusus pada bidang kajian penelitian tertentu. Jadi, koleksi buku Perpustakaan Nasional RI perlu diarahkan pada terwujudnya aneka pusat koleksi bidang penelitian tertentu. Seperti pusat koleksi penelitian bidang bahasa, pusat penelitian bidang sains, dan pusat penelitian bidang ilmu sosial.

Kedua, koleksinya selalu mutakhir. Kemutakhiran koleksi perpustakaan riset sangat penting, lantaran peneliti membutuhkan informasi ihwal perkembangan terbaru di bidang yang menjadi kajian penelitiannya. Biasanya, koleksi mutakhir tersebut berupa jurnal ilmiah.

Ketiga, secara umum dikuasai pemakai perpustakaan riset ialah para peneliti profesional ataupun civitas akademika yang sedang menjalankan acara penelitian. Spesialisasi layanan perpustakaan riset ialah Current Awareness Service (CAS) sebagai layanan yang mendukung dinamika kebutuhan dan mobilitas para peneliti sebagai kliennya.

Sebagai perpustakaan riset, Perpustakaan Nasional RI perlu melaksanakan inovasi-inovasi layanan semoga lebih dikenal oleh para peneliti dan akademikus. Menurut Fadil Hasan, sebagaimana dikutip Tempo Interaktif, 23 Mei 2005, hanya 20 persen peneliti yang memanfaatkan kemudahan Perpustakaan Nasional. Survey dilakukan terhadap 60 orang peneliti di Jakarta dan Bogor. Dari survey itu, 65 persen lainnya malah sama sekali belum pernah ke Perpustakaan Nasional. Sisanya, hanya sesekali berkunjung. Menurut Fadil, para responden umumnya beropini bahwa perpustakaan yang terdapat di bilangan Salemba, Jakarta Pusat ini, koleksinya tidak lengkap dan kurang spesifik. Selain itu, mereka lebih banyak menggunakan internet untuk memperdalam penelitiannya. Sebanyak 70 persen menggunakan internet.

Fungsi sebagai perpustakaan riset menghendaki Perpustakaan Nasional bisa mengatakan layanan kepada pemustaka yang hendak melaksanakan penelusuran informasi. Fungsi ini perlu di respon oleh Perpustakaan Nasional RI dengan melaksanakan revolusi diri menjadi perpustakaan digital yang senantiasa "up to date"memberikan informasi yang cepat dan sempurna kepada masyarakat.

Perpustakaan riset sanggup melengkapi diri dengan menyusun secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri ensiklopedia digital, kamus digital, handbook digital, guidebook digital, direktori digital, dan almanak digital. Tanpa langkah ini, fungsi sebagai perpustakaan riset tidak akan berjalan dinamis. Subhan (2006) mengungkapkan bahwa digitalisasi merupakan salah satu langkah semoga jalan masuk informasi dan kerjasama antarperpustakaan menjadi semakin lancar. Dengan digitalisasi, para peneliti sanggup dengan gampang mengakses informasi untuk kebutuhan penelitiannya.

Perpustakaan riset mengatakan impian kemajuan dan kemakmuran. Dengan riset, ilmu pengetahuan makin berkembang. Harapannya, perkembangan itu melahirkan imbas bola salju berupa meningkatnya kualitas sumber daya manusia. Negara-negara maju semenjak usang menyadari besarnya manfaat riset. Lewat riset, banyak sekali penemuan bermunculan sehingga bisa dijadikan komoditas bernilai jual dan daya saing tinggi.

5. Revolusi layanan perpustakaan pelestarian. 
Arah revolusi dalam layanan bidang pelestarian yakni mempublikasikan naskah-naskah kuno yang dimiliki oleh Perpustakaan Nasional RI dalam format digital. Saat ini Perpustakaan Nasional RI memang telah mempunyai beberapa naskah kuno yang sudah dialihmediakan dalam format digital, mirip Barmartani (Soerakarta, 1855) dan Soerat Chabar Betawi (Betawi, 1858).

Namun, naskah-naskah kuno ini belum sanggup diakses oleh publik melalui internet (format digital). Padahal salah satu tujuan dari pelestarian naskah-naskah kuno yakni adanya proses eksplorasi dan eksploitasi terhadap naskah kuno tersebut. Pembukaan jalan masuk secara terbuka terhadap publik akan meningkatkan kadar kegunaan dan keterpakaian naskah-naskah tersebut.

Alangkah indahnya, bila publik sanggup mengakses koleksi surat kabar milik Perpustakaan Nasional RI yang terbit pada masa Perang Diponegoro melalui internet. Hal ini tentu akan menambah wawasan sejarah anak bangsa ini melalui rekaman tertulis para jurnalis pada masa itu. 
Bila selama ini pengetahuan ihwal Perang Aceh, Perang Diponegoro dan Perang Padri, hanya diperoleh dari buku sejarah, maka surat kabar yang terbit di zaman penjajahan memberi informasi secara eksklusif kejadian tersebut. Dengan demikian publik sanggup mengikuti dengan lebih rinci mengenai tokoh dan kejadian penting yang kelak dikemudian hari menjadi kepingan tidak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini.

Selain itu, Perpustakaan Nasional RI juga harus menciptakan "tafsir/penjelasan" dari naskah-naskah kuno yang menjadi koleksinya. Penjelasan naskah ini menjadi penting pula untuk dipublikasikan dalam website Perpustakaan Nasional RI semoga warisan luhur budaya bangsa lebih dikenal dan di sayang oleh masyarakat.

6. Revolusi pusat jejaring perpustakaan. 
Menurut pasal 12 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007, ihwal Perpustakaan, menyebutkan bahwa perpustakaan melaksanakan kolaborasi dengan banyak sekali pihak untuk meningkatkan layanan kepada pemustaka. Tujuan kerjasama ini yakni untuk meningkatkan jumlah pemustaka yang sanggup dilayani dan meningkatkan mutu layanan perpustakaan. Kerjasama ini dilakukan dengan memanfaatkan sistem jejaring perpustakaan yang berbasis TI dan komunikasi.

Sampai ketika ini tak ada satupun perpustakaan yang sanggup menahbiskan dirinya sebagai perpustakaan paling lengkap di dunia. Tahbis yang ada gres sebatas perpustakaan dengan jumlah koleksi terbanyak. Untuk itu diharapkan kerjasama antar perpustakaan guna saling asah, asih, dan asuh dalam meningkatkan layanan kepada pemustaka.

Perpustakaan Nasional RI yang merupakan "payungnya" seluruh perpustakaan di tanah air sudah sewajarnya memelopori terbentuknya jaringan perpustakaan berbasis TI di tanah air. 

Langkah pertama yang sanggup ditempuh yakni dengan membentuk jaringan nasional Perpustakaan Daerah Provinsi di Indonesia.

Langkah kedua yakni membentuk jaringan nasional perpustakaan umum kabupaten/kota dalam setiap provinsi. Hal ini sanggup dikoordinasikan dengan setiap Perpustakaan Daerah Provinsi yang ada di Indonesia. Berikutnya, membentuk jaringan nasional perpustakaan perguruan tinggi se-Indonesia. Hal ini sanggup dimulai dari perpustakaan perguruan tinggi negeri (PTN) .

Untuk mempercepat terbentuknya jaringan perpustakaan ini, Perpustakaan Nasional RI perlu melaksanakan langkah revolusi dengan menciptakan acara otomasi perpustakaan gratis yang sanggup diunduh oleh masyarakat di website Perpustakaan Nasional RI. Penyusunan format MARC untuk Indonesia (INDOMARC) tanpa diikuti dengan langkah kasatmata ini tidak akan banyak membawa arti. Mengingat tidak semua perpustakaan di tanah air bisa membeli acara otomasi secara mandiri.

Perpustakaan Nasional RI sanggup menyempurnakan acara otomasi gratis dari UNESCO mirip CDS/ISIS maupun WIN ISIS sehingga selain sanggup dipergunakan untuk pangkalan data juga sanggup dipergunakan untuk layanan. Dengan langkah ini, seluruh perpustakaan di tanah air sanggup memperoleh acara otomasi yang gampang dan murah yang kelak akan mempercepat proses pembentukan jaringan informasi nasional perpustakaan.

E. Revolusi Pustakawan
Untuk mendukung keberhasilan revolusi layanan Perpustakaan Nasional RI diharapkan revolusi sumber daya manusia, khususnya revolusi kualitas pustakawan. Revolusi ini diarahkan guna meningkatkan apresiasi pustakawan terhadap TI. Apresiasi yang tinggi terhadap TI akan memperkuat kedudukan pustakawan dalam menghadapi pesatnya perkembangan TI.

Pustakawan bergotong-royong mempunyai modal yang berpengaruh untuk berkiprah di dunia TI. Untuk merancang sebuah acara seorang programmer komputer selalu mengadakan konsultasi dengan bidang yang bekerjasama dengan problem tersebut. Mengingat rancang bangun acara ini tidak sanggup dapat dibentuk sembarangan. Sebut saja dalam dunia website khusus problem konten atau isi website mereka harus mengadakan brainstorming dengan pihak yang dianggap ahli, yakni pustakawan.

Hal ini disebabkan pustakawanlah yang paling tahu dalam hal penelusuran dan kemauan netter atau penelusur. Maka terperinci para mahir TI hanya bisa menciptakan sistem programnya, tetapi bukan isinya. Kemampuan mengkategori, memfiling dokumen file yakni kemampuan pustakawan yang sangat diandalkan. Pembagian nama domain untuk file, lokasi koding bahkan hingga bentuk format penyimpanan metadata sangat tergantung pada pustakawan.

Kaprikornus secara sederhana programmer yang menciptakan kerangka, dan pustakawanlah yang mengisi konten dengan kebijakan dari pihak redaksional. Pemasukan konten data ini sangat tergantung kemampuan knowledge si pustakawan tersebut. Misalnya seorang sehabis membrowsing internet didapat materi yang manis sanggup dimasukkan ke dalam alamat email atau engine (data entri) kepada reporter. Bila tidak ada yang berbasis web sanggup discan dari buku atau majalah. Lalu si reporter menciptakan informasi dengan bimbingan pustakawan. Kemudian pustakawan juga mulai mendata semua materi yang pernah fetch (tampil) di website dan dikemas ulang dalam CD, baik dalam bentuk data teks, gambar, ataupun MP3 atau MPVG dan lain-lain.

Pustakawan dengan modal yang dimilikinya juga sanggup merevolusi diri menjadi seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, pustakawan harus bisa memberdayakan informasi bukan sekadar melayankan informasi. Andy Alayyubi (2001) mengungkapkan bahwa pustakawan yang ideal selain profesional ia juga seorang ilmuwan. Selama ini, khususnya di lembaga-lembaga riset, pekerjaan pustakawan hanya menyediakan informasi bagi para ilmuwan. Para pustakawan sudah merasa puas bila para ilmuwan sudah mendapatkan informasi yang dicarinya.

Fenomena ini harus diubah. Kalau kita pikirkan lagi, kita seharusnya mempertanyakan, mengapa pustakawan selalu menjadi "pembantu" ilmuwan kalau semua keperluan "majikan" kita miliki. Yah, pustakawan mempunyai keperluan ilmuwan dalam bentuk informasi. Keilmuwanan pustakawan akan terbukti bila ia bisa melahirkan karya tulis. Kegiatannya menulis ini merupakan lahan lembap dalam memperoleh angka kredit. Kelemahan pustakawan ketika ini, mereka hanya terfokus pada kegiatan rutin yang celakanya mempunyai angka kredit kecil.

Pustakawan juga sanggup merevolusi diri menjadi seorang pendidik. Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 ihwal Sistem Pendidikan Nasional, pendidik yakni tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain (termasuk pustakawan) yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

F. Penutup
Perpustakaan dan teknologi informasi sanggup diibaratkan "dua sisi dari satu mata uang yang sama". Perpustakaan memerlukan TI untuk meningkatkan kualitas layanan dan kepuasan pemustaka. Sebaliknya, TI tanpa pedampingan perpustakaan hanya sebatas melahirkan masyarakat informasi yang semu. Masyarakat yang merasa sudah mengerti TI, tetapi pengetahuannya ihwal TI tidak membawa dampak apa pun bagi peningkatan kualitas hidupnya.

Sinergi perpustakaan dan TI akan menghasilkan kultur masyarakat yang bukan sekedar "memakai" TI melainkan memberdayakan TI untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Untuk itu "Revolusi Layanan Perpustakaan Nasional RI Berbasis TI" menjadi suatu keniscayaan. Revolusi ini di masa depan akan bisa merevolusi diri huruf bangsa ini dari bangsa "pemakai" TI menjadi bangsa yang bisa memberdayakan TI. Revolusi yang bisa membangunkan bangsa ini dari keterpurukan.

0 Response to "Revolusi Layanan Perpustakaan Berbasis Teknologi Informasi"