Budaya Korupsi Ditinjau Dari Sikap Bangsa Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Fenomena korupsi bukan hal yang baru, mungkin telah ada semenjak awal sejarah insan kecuali pada masa yang sangat primitif (Alatas, 1983), dimana secara konsep prilaku belum dikenal meskipun gejalanya bisa saja sudah ada. Korupsi secara historis merupakan konsep dan prilaku menyimpang secara hukum, saat secara sosial polotik telah terjadi pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan publik, namun pada masa kekuasaan dikaitkan dengan hereditas dan pelimpahan wewenang dari yang maha kuasa (kekuatan supranatural) dan atau alasannya kepahlawanan (knight) yang diikuti dengan perasaan berhak atas keistimewaan (dengan dukungan belakang layar dari rakyat) maka terdapat kecenderungan untuk melihat bahwa pemanfaatan aneka macam sumberdaya finansial dan non finasial untuk kepentingan penguasa atau Knight sebagai hal yang masuk akal meskipun at the expense of the people, karena keluarbiasaan historis dan kekuasaannya yang bukan berasal dari rakyat.
Onghokham (1983) telah mencoba mengkaji masalah korupsi dalam kontek Indonesia, dimana berdasarkan beliau fenomena korupsi telah ada  semenjak jaman kerajaan-kerajan di indonesia melalui venality of power, dimana kedudukan diperjualkan kepada orang atau kelompok yang bisa membayar untuk kemudian mereka diberi kedudukan yang berhak melaksanakan pemungutan pajak yang tanpa kontrol aturan sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse of power) sulit diperbaiki alasannya lemahnya kontrol pemerintah/kerajaan serta pendiaman oleh masyarakat,. Bahkan VOC juga melaksanakan hal ini pada daerah-daerah yang dikuasainya melalui para demang dan atau bupati/penguasa daerah. Kondisi ini terperinci menandakan bahwa baik secara universal maupun keindonesiaan, korupsi memiliki akar historis yang cukup besar lengan berkuasa dalam kehidupan masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Budaya Korupsi
Apakah korupsi telah menjadi budaya?, jawabannya niscaya akan bervariasi tergantung apa yang dimaksud dengan budaya serta kekuatan ikatannya dalam memilih contoh dan norma kehidupan sosial masyarakat. Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia telah menjadi budaya dengan melihat fenomena yang terjadi, namun bila budaya itu diwariskan apakah nenek moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang kemudian dalam masa modern disebut korupsi ?, masalahnya terperinci jadi rumit oleh alasannya itu penyebutan tersebut perlu dilakukan hati-hati atau harus dengan tumpuan pemaknaan budaya yang spesifik dengan selalu  memperhatikan continuity and change.
Dalam periode awal pada setiap daerah/bangsa termasuk Indonesia umumnya melalui fase-fase kehidupan sosial (August Comte) dari  mulai fase teologis, metafisik dan positif. Budaya dalam arti nilai yang umum dijalankan dalam fase animisme (teologi, metafisik) guna mengendalikan aneka macam bencana yang merugikan/merusak kehidupan masyarakat, pemberian sesajen menjadi salah satu instrumen penting untuk menenangkan dan memperkuat posisi kehidupan manusia, dengan sesajen diharapkan penguasa supranatural sanggup melindungi kehidupan mereka. Nah kalau demikian apakah insan berprilaku menyogok (bribery) kepada kekuatan adi kuasa?, jawabannya bisa ya dan bisa tidak dari sudut pandang individu itu tergantung niat, namun dari sudut sosial hal itu dimaksudkan sebagai upaya menjaga keseimbangan kehidupan dengan penguasa supranatural yang dipandang besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia.
  
B.     Pengertian Korupsi
The word corrupt (Middle English, from Latin corruptus, past participle of corrumpere, to destroy : com-, intensive pref. and rumpere, to break) when used as an adjective literally means “utterly broken”  Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerjacorrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi ialah sikap pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak masuk akal dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang erat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Wikipedia)
Secara istilah Banyak para mahir yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya memiliki makna yang sama. Brasz (1963. dalam Lubis,1985) menyatakan bahwa korupsi merupakan penggunaan yang korup dari derived power atau sebagai penggunaan secara belakang layar kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang menempel pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan tujuan kekuasaan orisinil dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih memakai kekuasaan itu dengan syah.
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melaksanakan tindakan korupsi bila ia mendapatkan hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya supaya ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menunjukkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang memiliki hubungan pribadi dengannya, juga sanggup dianggap sebagai korupsi.

C.    Penyebab Korupsi
Korupsi selalu terjadi dalam suatu konteks sosial yang membentuk konsep diri dan definisi situasi seseorang yang saat terjadi proses soaial akan mendorng aneka macam kecenderungan muncul sejalan dengan kebiasaan yang ada baik yang terbuka maupun tertutup. Korupsi cenderung terjadi secara tertutup dan kalaupun terbuka selalu ada upaya untuk menutupinya. Menurut  Wang An Shih tokoh besar Cina yang hidup pada aban 11, korupasi terjadi karena buruknya hukum dan buruknya manusia. Yang pertama terkait dengan atribut  kelembagaan (institutional attributes) dan yang kedua dengan atribut masyarakat (societal attributes), dan secara lebih rinci Alatas (1983) menyebutkan  faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi ialah :
·         Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi posisi kunci yangg bisa mengatakan wangsit dan mempengaruhi tingkah laris yang menjinakan korupsi
·         Kelemahan pengajaran pengajaran agama dan etika
·         Kolonialisme
·         Kurangnya pendidikan
·         Kemiskinan
·         Tiadanya tindak aturan yang keras
·         Kelangkaan lingkungan yang subur untuk prilaku anti korupsi
·         Struktur pemerintahan
·         Perubahan radikal
·         Keadaan masyarakat
Penyebab penyebab tersebut ada yang bersifat kelembagaan, ekonomi, sosial dan individual serta ada yang bersifat berdikari dan yang bersifat kausal, namun demikian hal yang sanggup dicatat ialah bahwa menghilangkan penyebab secara parsial akan suit untuk menjamin korupsi akan hilang, paling tidak hanya mengurangi tingkat kemerajalealaannya dalam kehidupan bangsa.

D.    Kondisi yang Kondusif Bagi Munculnya Korupsi
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi ada yang bersifat kasatmata dan potensial dalam arti bisa saja terjadi perubahan dalam penyebab tidak serta merta sanggup menjadi pengurang terjadinya korupsi alasannya bila trigger nya menguat. Dan hal ini terkait dengan kondisi-kondisi yang aman bagi terjadinya korupsi. Kindisi  tersebut meliputi hal-hal berikut :
·         Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab eksklusif kepada rakyat, ibarat yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
·         Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
·         Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
·         Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
·         Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
·         Lemahnya ketertiban hukum.
·         Lemahnya profesi hukum.
·         Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
·         Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
·         Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau gampang dibohongi yang gagal mengatakan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
·         Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”. (Wikipedia)
Oleh alasannya itu disamping dibutuhkan menghilangkan penyebab-penyebabnya, dibutuhkan juga upaya mempersempit ruang gerak atau kondisi yang sanggup memicu terjadinya korupsi, supaya upaya pemberantasan korupsi sanggup berjalan efektif dan signifikan bagi penguatan kehidupan berbangsa.

E.     Akibat/Dampak Korupsi
Meskipun terdapat beberapa pakar ibarat Nathaniel Lef, dan Bayley (meningkatkan investasi, fleksibilitas administrasi, percepatan penyelesaian pekerjaan terkait birokrasi) yang melihat ada dampak positif dari korupsi, namun secara universal korupsi lebih banyak dipandang sebagai prilaku yang berakibat pada keruksakan tatanan sosial ekonomi dan budaya serta mutu kehidupan masyarakat suatu bangsa. Nye dalam Revida (2003) menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi ialah :
·         Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, dukungan yang lenyap.
·         ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menjadikan ketimpangan sosial budaya.
·         pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akhir korupsi ialah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para mahir di atas, maka sanggup disimpulkan akibatakibat korupsi diatas ialah sebagai berikut :
·         Tata ekonomi ibarat larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
·         Tata sosial budaya ibarat revolusi sosial, ketimpangan sosial.
·         Tata politik ibarat pengambil alihan kekuasaan, hilangnya dukungan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
·         Tata manajemen ibarat tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. (Revida, 2003)
Dengan demikian Secara umum akhir korupsi ialah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional ibarat yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

F.     Cara Menanggulangi Korupsi
Kalau korupsi dibiarkan secara terus menerus tanpa upaya menanggulanginya, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menjadikan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang gampang dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Meskipun aneka macam upaya belum tentu sanggup menghilangkan korupsi, tapi paling tidak sanggup menguranginya. Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab dan masif dengan pendekatan simultan. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para mahir yang masing-masing memandang dari aneka macam segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980) mengatakan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
·         Membenarkan transaksi yang dahulunya dihentikan dengan memilih sejumlah pembayaran tertentu.
·         Membuat struktur gres yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
·         Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas ialah saran-saran yang secara terperinci diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
Bagaimana dorongan untuk korupsi sanggup dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman. Korupsi ialah duduk masalah nilai. Nampaknya mustahil keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, supaya beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi. Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, contohnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan bahaya eksekusi kepada pelaku-pelakunya. Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi yaitu supaya pengaturan dan mekanisme untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, honor pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, aturan pidana dan aturan atas pejabat-pejabat yang korupsi sanggup lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh alasannya itu cara pengkajiannya pun majemuk pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menimbulkan timbulnya korupsi. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
·         Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melaksanakan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat hirau tak acuh.
·         Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
·         para pemimpin dan pejabat mengatakan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
·         Adanya hukuman dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
·         Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
·         Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
·         Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran manajemen pemerintah.
·         Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
·         Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang memiliki tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
·         Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.

G.    Peran Pendidikan Dalam Menanggulangi Korupsi

Pendidikan merupakan upaya normatif yang mengacu pada nilai-nilai mulia yang menjadi pecahan dari kehidupan bangsa, yang dengannya nilai tersebut sanggup dilanjutkan melalui tugas transfer pendidikan baik aspek kognitif, sikap maupun ketrampilan. Pendidikan membimbing insan menjadi insan manusiawi yang makin sampaumur secara intelektual, moral  dan sosial, dalam konteks ini pendidikan merupakan pemelihara budaya. Namun demikian dalam konteks perubahan yang cepat sampaumur ini pendidikan tidak cukup berperan ibarat itu namun juga harus bisa melaksanakan transformasi nilai dalam tataran instrumental sesuai dengan tuntutan perubahan dengan tetap menjadikan nilai dasar sebagai fondasi.
Dengan demikian secara umum pendidikan sanggup dipandang sebagai upaya preventif bagi berkembangnya sikap dan prilaku korup meskipun secara empiris terperinci tidak cukup mengingat faktor pressure sosial politik yang sanggup juga mendistorsi tugas normatif tersebut. Belakangan ini memang berkembang wacana akan perlunya pendidikan karakter, namun kalau dilihat secara substantif pendidikan kita ibarat tertuang dalam Undang-undang no 20 th 2003 gotong royong ialah pendidikan karakter, jadi pendidikan aksara ya pendidikan. Yang lebih penting ialah bagaimana membuat aksara pendidikan bangsa sanggup diselenggarakan dengan menjunjung tinggi kemandirian dan kejujuran, beberapa masalah yang terjadi justru kebijakan pendidikan tertentu  (seperti UN) telah banyak mendorong sikap dan prilaku ketidak jujuran yang sanggup menjadikan orang terbiasa dengan kecurangan  yang nota bene merupakan potensi bagi berkembangnya korupsi atau paling tidak pengabaian terhadapnya.  Dengan demikian pendidikan merupakan sarana atau bisa juga dipandang  sebagai suatu respon yang sempurna untuk meningkatkan ketahanan sopan santun bangsa melalui reformasi sosial yang pada gilirannya sanggup menjadi pemicu bagi terjadinya reformasi kelembagaan.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Korupsi, apakah sudah jadi budaya atau bukan, ialah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai demi laba pribadi, keluarga dan sahabat atau kelompoknya, baik dalam bentuk Bribery, extortion, maupun nepotism. 2. Korupsi menghambat pembangunan, alasannya merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghianati keinginan usaha bangsa.  Cara penaggulangan korupsi ialah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan ialah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai wacana pemisahan yang terperinci antara milik negara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, evaluasi dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan hukuman sosial,dan pendidikan sanggup menjadi instrumen penting bila dilakukan dengan sempurna bagi upaya pencegahan tumbuh dan berkembangnya korupsi. Sementara itu untuk tindakan represif penegakan aturan dan eksekusi yang berat perlu dilaksanakan dan apabila terkait dengan implementasinya maka aspek individu penegak aturan menjadi dominan.
B.     Saran
Dalam pembahasan materi di atas mengenai Budaya Korupsi ditinjau dari prilaku bangsa dan indonesia masih banyak kekurangan, baik di segi penulisan ataupun di dari penyusunan kalimat dan kata-katamya,oleh sebap itu kami selaku penulis minta maaf sebesar - besarnya kepada dosen dan mahasiswa semua, sebagai penyempurna kami mengharap kritik dan saran yang positif dari teman-teman.


DAFTAR PUSTAKA


Bellone, Carl.1980.Organization Theory and The New Public Administration. United States Of America.Allyn and Bacon, Inc. Boston/ London Sydney/ Toronto.

Onghokham, Tradisi dan Korupsi, Prisma no 2 , tahun XII,  pebruari 1983

Frederickson, George, H. 1984. Administrasi Negara Baru. Terjemahan. Jakarta. LP3ES. Cetakan Pertama.

Kartono, Kartini. 1983. Pathologi Sosial. Jakarta. Edisi Baru. CV. Rajawali Press.

Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Penerbit Sinar Baru.

Lubis, Mochtar. 1977. Bunga Rampai Etika Pegawai Negeri. Jakarta. Bhratara. Karya Aksara.

Simon, Herbert. 1982. Administrative Behavior. Terjemahan St. Dianjung. Jakarta. PT. Bina Aksara.

Lubis, Mochtar, 1985. Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta

Alatas, Syed Hussein, 1983. Sosiologi Korupsi, LP3ES, Jakarta

Gie, Kwik Kian, 2003. Pemberantasan Korupsi

Center for Democracy and Governance, 1999. A Handbook On Fighting Corruption. Washington, D.C. 20523-3100

Vaknin, Sam.` 2003. Crime and Corruption, 1st EDITION. A Narcissus Publications Imprint, Skopje 2003

Revida, Erika. 2003. Korupsi Di Indonesia: Masalah Dan Solusinya, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik  Universitas Sumatera Utara

Selengkapnya Klik DOWNLOAD

0 Response to "Budaya Korupsi Ditinjau Dari Sikap Bangsa Indonesia"