BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam melaksanakan pembangunan, banyak problem yang dihadapi oleh negara Indonesia. Salah satu problem tersebut ialah kecilnya modal yang dimiliki. Modal sebagai sumber pembiayaan pembangunan bisa berasal dari dalam negari maupun luar negeri.
Modal Pembangunan yang berasal dari luar negeri, terutama dalam bentuk utang luar negeri, sangatlah besar resikonya. Tidak hanya membebani anggaran penerimaan dan belanja negara tiap tahunnya, tetapi biasanya juga disertai campur tangan urusan dalam negeri oleh negara donor. Hal ini membuat banyak pihak tidak menyukai sumber modal dari luar negeri. Dengan kata lain sumber modal luar negeri merupakan alternatif terakhir.
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang membutuhkan dana domenstik yang cukup besar guna membiayai pembangunan. Sekarang ini bangsa Indonesia tengah dihadapakan pada dua problem pokok. Pertama, kewajiban terhadap hutang luar negeri (foreign debt service); dan kedua, penyedian lapangan kerja untuk pertambahan tenaga kerja setiap tahunnya. Guna menghipnotis kedua problem tersebut memerlukan dana yang cukup sehingga bangsa indonesia dituntut untuk lebih terpelajar dalam perjuangan meningkatkan pembentukan permodalan (Budiono, 2001, 15)
Upaya mendatangkan modal abnormal untuk menutupi kekurangan tabungan domenstik sangat diharapkan semoga sasaran pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sanggup dicapai. Hal ini mengingat keadaan perekonomian negara indonesia yang masih belum stabil dan kondisi keamanan di Indonesia juga dirasakan masih belum nyaman oleh para investor baik abnormal maupun investor lokal guna melaksanakan investasi.
Salah satu jenis modal abnormal yang masuk ke Indonesia ialah berupa pemberian luar negeri baik yang mengalir ke sektor pemerintah maupun swasta nasional. Penggunaan pemberian luar negeri mempunyai fungsi sebagai komplemen dana domenstik yang belum memadai untuk membiayai seluruh proses pembangunan di Indonesia. Namun demikian, penggunaan pemberian luar negeri yang semakin besar porsinya dalam pembiayaan pembangunan, telah membuat ketergantungan terhadap negara – negara atau forum donor, menjadikan beban hutang yang semakin berat dan turut andil pada terjadinya krisis nilai tukar dan krisis ekonomi di Indonesia semenjak petengahan tahun 1997. (Boediono, 16, 2001)
Salah satu upaya yang dipakai untuk memperkokoh pondasi bagi proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi indonesia ialah mengurangi ketergantungan dari arus modal abnormal (terutama arus modal jangka pendek) dan pemberian luar negeri yang telah menjadi salah satu penyebab ambruknya perekonomian Indonesia. Dalam kaitan dengan hal ini, perjuangan mobilisasi dana domestik merupakan problem yang sangat penting, semoga penggunaan modal abnormal serta pemberian luar negari sanggup dikurangi.
Institusi yang mempunyai tugas penting dalam menghimpun dana masyarakat ialah forum perbankan. Masyarakat menyisihkan sebagian dari pendapatannya yang tidak dikonsumsi untuk menabung. Tabungan inilah yang akan dihimpun oleh pihak bank sebagai dana pihak ketiga (DPK). Dimana tabungan ini hanya terjadi kalau perkembangan perkonomi indonesia bisa jalan dengan lancar dan memungkinkan setiap rakyat Indonesia mempunyai kemampuan menabung.
Semenjak dikeluarakan kebijakan pemerintah disektor moneter yang diawali dengan deregulasi 1 Juni 1983. Mulai ada perubahan yang cukup fundamental pada industri perbankan di Indonesia. Kebijakan yang berupa penetapan suku bunga, pengerahan dana masyarakat, perkreditan, maupun penciptaan produk – produk perbankan kecuali yang mendapat prioritas mulai diserahkan kepada masyarakat perbankan sendiri. Sehingga perbankan yang biasa besifat pasif dan hanya menunggu nasabah, sekarang harus aktif mencari nasabah dengan aneka macam cara yang bisa menarik masyarakat menjadi nasabah. (Susilo, Sri, dkk, 2000, 43)
Hasil dari kebijakan pemerintah tersebut cukup menggembirakan sebagaimana terlihat dari meningkatnya dana simpanan berjangka dan tabungan masyarakat yang meningkat secara pesat. Walaupun beberapa kesukaran masih tetap membayangi kemantapan ekonomi kita umumnya. Kebijakan deregulasi membuat industri perbankan dan perekonomian lebih berwawasan global disebabkan oleh ekspor oriented economy, makin berperannya Pemegang Modal Asing (PMA), sistem devisa bebas dan komunikasi semakin canggih, sehingga lebih terbuka terhadap efek pasar finansial global.
Guna Mendorong perkembangan perbankan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa ”Paket 27 Oktober 1988”. Isi dari Pakto 88 ini antara lain menunjukkan fasilitas untuk mendirikan bank gres baik swasta nasional, campuran, maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Pembukaan Kantor cabang baru, peningkatan status sebagai bank devisa. Pakto 88 mempunyai tujuan memperluas jaringan perbankan dan meningkatakan keanekaragaman pelayanan untuk menggali sumber dana masyarakat dalam lingkup yang lebih luas semoga sanggup mempercepat tercapainya pembentukan permodalan bangsa Indonesia, lebih menyehatkan sistem perbankan di Indonesia untuk menjamin keamanan dana masyarakat secara preventif dan bukan protektif, memberi kesempatan yang sama sekaligus meningkatkan daya saing dan kemampuan Perbankan Indonesia. (Susilo, Sri, 2000, 44)
Paket 27 Oktober 1988 diharapkan sanggup membuat perbankan nasional menjadi semakin profesional sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan tentunya lebih dewasa, tidak lagi banyak bergantung pada Bank sentral menyerupai masa sebelumnya. Namun, lantaran pertumbuhannya sangat pesat menimbulkan persaingan juga semakin tajam maka, dalam perkembangannya perbankan membutuhkan tenaga profesional lantaran masih banyak bank yang melaksanakan pembajakan.
Bank Umum didefinisikan oleh Undang – undang No.10 Tahun 1998 sebagai Bank yang melaksanakan kegiatanya secara konvensional dan/atau menurut prinsip syariah yang dalam kegiatanya menunjukkan jasa dalam kemudian lintas pembayaran. Dari aneka macam jenis simpanan masyarakat di Bank, yang paling besar porsinya ialah Simpanan Berjangka (Deposito Berjangka). Proporsinya yang lebih banyak didominasi dari simpanan berjangka dalam penghimpunan dana masyarakat pada bank umum di Indonesia, pada tahun 2000:1 Simpanan berjangka di Indonesia sebesar Rp. 286843 miliar. Pada tahun 2002:4 meningkat lagi menjadi Rp. 365771 miliar, dan pada tahun 2004:1 mengalami penurunan menjadi Rp. 331603 tetapi tetap lebih banyak didominasi diminati oleh masyarakat untuk menyimpan uangnya. Pada tahun 2004:4 mengalami peningkatan yang cukup besar sebesar Rp. 352723 Miliar, tapi pada tahun 2005:1 mengalami penurunan kembali sebesar Rp. 351596 Miliar dan untuk tahun 2005.4 mengalami kenaikan lagi sebesar Rp. 456739.
Tabel 1
Posisi Simpanan Bejangka
Pada Bank Umum
(2000 :1 – 2005 : 4)
Dalam Miliar
Periode Simpanan Berjangka
Bank Umum
2000.1 286843
2000.2 293163
2000.3 296284
2000.4 296885
2001.1 321209
2001.2 315200
2001.3 323338
2001.4 348257
2002.1 358239
2002.2 362711
2002.3 368091
2002.4 365771
2003.1 377214
2003.2 370171
2003.3 359810
2003.4 356890
2004.1 331603
2004.2 337841
2004.3 340441
2004.4 352723
2005.1 351596
2005.2 376494
2005.3 409322
2005.4 456740
Sumber : Badan Pusat Statistik, BPS
Berdasarkan kepemilikan sahamnya, Bank Umum di Indonesia di bagi menjadi empat, yaitu Bank Umum Pemerintah, Bank Pemerintah Daerah, Bank Umum Swasta Nasional, dan Bank Umum Swasta Asing. Keempat jenis bank tersebut hanya bank pemerintah dan Bank Umum Swasta Nasional yang mempunyai peranan lebih banyak didominasi dalam menghimpun Simpanan Berjangka masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas, penghimpunan Simpanan Berjangka oleh Bank Umum, Pertama – tama sangat bergantung pada kemampuan masyarakat dalam menyimpan uangnya, dimana kemampuan ini akan tercermin dari tingkat pendapatan nasional. Sebelum masyarakat tetapkan untuk menyimpan dananya pada forum keuangan perbankan, ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan. Faktor – faktor tersebut menyerupai tingkat bunga, jumlah kantor Bank dan nilai Dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah. Tingkat bunga membuktikan ukuran bank (Bank Size) yang dipandang oleh penyimpan dana sebagi salah satu faktor yang memilih dapat dipercaya bank, keberhasilan forum perbankan dalam menjangkau lokasi penabung dan menunjukkan pelayanan kepada nasabah yang tercermin dari jumlah bank yang ada dan alhasil stabilitas nilai kurs atau nilai tukar dollar Amerika terhadap rupiah, faktor penting untuk menghipnotis permintaan simpanan berjangka, diantaranya memudahkan membat proyeksi nilai ekspektasi dimasa yang akan datang.
Dalam Penelitian wacana faktor – faktor yang menghipnotis simpanan berjangka pada Bank Umum ini variabel yang dipakai ialah PDB rill harga konstan tahun 2000, tingkat bunga, jumlah kantor bank, nilai tukar dollar Amerika Serikat dengan Rupiah, dan simpanan berjangka periode yang lalu, dengan memakai alat analisis Partial Adjusment Models.
Sesuai dengan keadaan yang telah diuraikan diatas, maka penulis dalam penelitian ini akan mengambil judul ” Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Simpanan Berjangka Pada Bank Umum Konvesional di Indonesia Tahun 2000.1 – 2005.4.”
1.2 Rumusan Masalah Penelitian .
Berdasarkan problem yang telah diuraikan, maka sanggup dinyatakan rumusan problem penelitain tersebut sebagai berikut :
1. Apakah pendapatan nasional mempunyai efek terhadap permintaan simpanan berjangaka bank umum di Indonesia?
2. Apakah tingkat suku bunga simpanan berjangka mempunyai efek terhadap permintaan simpanan berjangka bank umum di Indonesia?
3. Apakah jumlah kantor mempunyai efek terhadap permintaan simpanan berjangka bank umum di Indonesia?
4. Apakah nilai tukar dollar Amerika Serikat dengan rupiah mempunyai efek tehadap permintaan deposito berjangka pada bank umum di Indonesia.
5. Apakah simpanan berjangka periode yang kemudian mempunyai efek terhadap permintaan simpanan berjangka pada bank umum di Indonesia.
0 Response to "Faktor – Faktor Yang Menghipnotis Ajakan Simpanan Berjangka Pada Bank Umum Konvesional Di Indonesia Tahun 2000.1 – 2005.4 (Ak-23)"