Makalah Keikut Pesertaan Pihak Ketiga Dalam Aturan Program Peradilan Ata Perjuangan Negara


Keikut pesertaan pihak ketiga dalam Hukum program peradilan tata Usaha negara


BAB I
PENDAHULUAN 

Adanya perubahan atau Amandemen pada Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, membawa konsekuensi aturan adanya perubahan peraturan perundang-undangan yang ada untuk diubahsuaikan dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:
1)      Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan.
2)      Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan tubuh peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata perjuangan negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
3)      Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, sehingga Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 perlu dilakukan pembiasaan dengan Undang-undang Dasar 1945. Karena itu, lahirlah Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 perihal Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa ”Kekuasaan kehakiman yakni kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Sedangkan Pasal 2 Undang-undang tersebut, menyatakan bahwa ”Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan tubuh peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata perjuangan negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Pasal 2 ini dipertegas lagi dalam Pasal 10 Undang-undang tersebut, yang berbunyi:
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan tubuh peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi .
(2) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung mencakup tubuh peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata perjuangan negara.
Dari perubahan perundang-undangan tersebut sanggup dilihat bahwa:

1. Kekuasaan Kehakiman yakni kekuasaan yang merdeka;
Kekuasaan yang merdeka ini mengandung arti bahwa siapapun atau forum apapun tidak boleh melaksanakan intervensi terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman, hal ini dipertegas dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, yang menyatakan bahwa ”Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945”.

2. Kekuasaan yang merdeka ini yakni untuk menegakkan aturan dan keadilan
Perundang-undangan tersebut telah meletakkan aturan dan keadilan dalam posisi yang setara atau seimbang, artinya kekuasaan kehakiman harus bisa menegakkan aturan dan menjunjung nilai-nilai keadilan sebagai suatu keharusan dalam pelaksanaan peradilan. Hakim dalam memutus suatu masalah tidak hanya berpatokan kepada peraturan perundang-undangan yang ada tetapi juga wajib mempertimbangkan nilai-nilai keadilan masyarakat. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, yang berbunyi;
(1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai aturan dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Disisi yang lain, Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 juga menyatakan bahwa: ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu masalah yang diajukan dengan dalih bahwa aturan tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk menilik dan mengadilinya”.

3.  Kekuasaan kehakiman ini dilakukan oleh 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu:
a.       Lingkungan Peradilan Umum
b.      Lingkungan Peradilan Agama
c.       Lingkungan Peradilan Militer
d.      Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) yakni untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam aturan dan menjamin terpeliharanya kekerabatan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata perjuangan negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia yakni negara aturan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian aturan dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai negara yang demokratis, Indonesia mempunyai sistem ketatanegaraan dengan mempunyai forum eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga forum tersebut direktur mempunyai porsi kiprah dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan forum lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk konrol yudisial atas tindakan manajemen pemerintah yakni melalui forum peradilan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 perihal Peradilan Tata Usaha Negara perlu ada perubahan pengaturan, utamanya mengenai aturan acaranya, lantaran Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan aturan masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen. Karena itu, diundangkanlah Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 perihal Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 perihal Peradilan Tata Usaha Negara.
Kata perubahan dalam undang-undang ini, berbeda pengertiannya dengan pergantian Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Pergantian disini mengbawa konsekuensi aturan bahwa Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999, dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, membawa konsekuensi aturan bahwa ada bagian-bagian tertentu yang tidak diadakan perubahan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tetap dinyatakan berlaku, tetapi bagian-bagian tertentu dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah dirubah dinyatakan tidak berlaku lagi dan yang berlaku yakni ketentuan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004.
Pasal-pasal yang dirubah dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan dimasukkan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, meliputi; Pasal 2, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, diantara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipi Pasal 9A, Pasal 12 s/d Pasal 22, Pasal 26, Pasal 28 s/d Pasal 38, Pasal 39 disisipi 5 pasal (39A, 39B, 39C, 39D dan 39E), Pasal 42, Pasal 44 s/d Pasal 46, Pasal 53, Pasal 116, Pasal 118 dihapus, dan Pasal 143 disisipi Pasal 143A.
Perubahan yang sangat fundamental dari UU No. 5 Tahun 1986 yakni dengan dihilangkannya wewenang pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi, administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melaksanakan pelatihan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan sanggup meningkatkan indepedensi forum PERATUN.
Di samping itu adanya pemberlakuan hukuman berupa dwangsom dan hukuman administratif serta publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai “macan ompong”, sekarang telah mulai membuktikan “gigi” nya.
Sedangkan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tetap dinyatakan berlaku, seperti:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 perihal Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Keputusan Meneteri Keuangan RI Nomor 1129/KKM.01/1991 perihal Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.


BAB II
KETENTUAN UMUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA

2.1 Pengertian-pengertian
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, diuraikan perihal pengertian-pengertian yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai berikut:
1. Tata Usaha Negara adalah manajemen negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di sentra maupun di daerah.
2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan aturan tata perjuangan negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan tanggapan aturan bagi seseorang atau tubuh aturan perdata.
4. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau tubuh aturan perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di sentra maupun di daerah, sebagai tanggapan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Gugatan Tata Usaha Negara adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan.
6. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau tubuh aturan perdata.
7. Penggugat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yakni Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan tanggapan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
8. Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan somasi untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang mempunyai kesamaan fakta atau dasar aturan antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud (Pasal 1 abjad a Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002)

2.2 Subyek Peradilan Tata Usaha Negara
Subyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara sering disebut dengan para pihak, yaitu:

1. Penggugat
Dari pengertian penggugat diatas sanggup ditentukan bahwa pihak-pihak yang sanggup mengajukan somasi kepada Pengadilan Tata Usaha Negara adalah:
-          Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN);
-          Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
Jadi, pada investigasi di sidang pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara bertindak sebgai Penggugat. Namun terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimungkinkan bertindak sebagai Penggugat dalam Sengketa Tata Usaha Negara khusus perihal sertifikat tanah, lantaran ganjal hak dari somasi yakni hak keperdataan dari BUMN tersebut. Dalam hal ini, BUMN tersebut tidak bertindak sebagai Badan Tata Usaha Negara, tetapi sebagai Badan Hukum Perdata (Wiyono R, 2008: 59).
Berapa banyak orang atau tubuh aturan perdata yang sanggup bertindak sebagai Penggugat dalam investigasi di sidang pengadilan tidak menjadi masalah, asalkan semua orang atau tubuh aturan perdata tersebut merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN. Sehingga dimungkinkan juga terjadinya somasi oleh Perwakilan Kelompok yang sering disebut dengan Class Action.
Demikian pula, tidak menjadi duduk masalah apakah orang atau tubuh aturan perdata itu yakni orang atau tubuh aturan perdata yang dituju atau bukan dari KTUN tersebut. Dalam arti pihak yang namanya tidak ada dalam KTUN itu pun bisa bertindak sebagai Penggugat asalkan yang bersangkutan merasa dirugikan oleh dikeluarkannya KTUN tersebut.
Salah satu referensi kasus: Ketut Budi mengajukan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diperuntukkan untuk usaha, setelah IMBnya dikeluarkan kemudian Ketut Budi mulai mendirikan bangunan berupa sebuah Slip Penggilingan Padi, yang kebetulan slip tersebut dibangun di tempat yang padat penduduk. Made Simpen yang rumahnya bersebelahan dengan bangunan slip itu dan kebetulan cerobong asap dari slip itu menghadap kearah rumahnya, sehingga ketika slip beroperasi maka Made Simpen merasa terganggu oleh pencemaran udara yang dikeluarkan dari cerobong slip dimaksud. Dalam hal ini Made Simpen merasa kepentingannya dirugikan tanggapan diterbitkannya KTUN berupa IMB tersebut. Karena itu, walaupun namanya tidak tercantum atau dituju dalam IMB tersebut, Made Simpen berhak bertindak sebagai Penggugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
Kepentingan yang dimaksud dalam kaitannya dengan pengajuan somasi tersebut, mengandung arti, yaitu:
1.  Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum, dan
2.  Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melaksanakan suatu proses somasi yang bersangkutan (Indroharto, 1993: 38-40).
Menurut yurisprudensi peradilan perdata, kepentingan nilai yang harus dilindungi oleh aturan itu gres ada, jikalau kepentingan tersebut jelas:
1. Ada kekerabatan dengan penggugat sendiri, artinya untuk dianggap sebagai orang yang berkepentingan, penggugat itu harus mempunyai kepentingan sendiri untuk mengajukan somasi tersebut,
2. Kepentingan tersebut harus bersifat pribadi, artinya penggugat mengajukan somasi lantaran kepentingan penggugat sendiri, yang terperinci sanggup dibedakan dengan kepentingan orang lain,
3. Kepentingan tersebut harus bersifat langsung, artinya kerugian yang diderita tanggapan dikeluarkannya KTUN harus benar-benar dirasakan secara eksklusif oleh penggugat.
4. Kepentingan itu secara obyektif yang sanggup ditentukan, baik mengenai luas maupun intensitasnya.
Menurut Yurisprudensi Administratieve Rechtspraak Overheidsbes lissingen (dalam Indroharto, 1993: 46) , untuk adanya suatu perkumpulan yang dianggap sebagai tubuh aturan perdata diharapkan beberapa persyaratan sebagai berikut:
a.  Adanya lapisan anggota-anggota, hal ini sanggup dilihat pada pengadministrasian anggota-anggotanya;
b. Merupaka suatu organisasi dengan tujuan tertentu, diadakan rapat anggota, diadakan pemilihan pengurus, adanya kolaborasi antara para anggota dengan tujuan fungsionalnya secara kontinu;
c. Ikut dalam pergaulan kemudian lintas aturan sebagai suatu kesatuan.
Kata ”merasa” dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, berdasarkan Ketut Suraputra (1993:87) sanggup diartikan bahwa ”kepentingan tersebut (kerugian) belum perlu sudah nyata-nyata terjadi”. Contoh; seseorang yang telah mendapatkan IMB, maka tetangganya sudah sanggup mengajukan somasi terhadap KTUN tersebut, bilamana ia merasa kepentingannya dirugikan.

2. Tergugat
Yang sanggup digugat atau dijadikan tergugat sebagaimana diuraikan dalam pengertian tergugat diatas yakni jabatan yang ada pada Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN berdasarkan wewenang dari Badan TUN itu atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini mengandung arti bahwa bukanlah orangnya secara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang menempel kepada orang tersebut. Misalnya; Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng, Bupati Buleleng dan lain-lain, sehingga tidak akan menjadi duduk masalah ketika terjadi pergantian orang pada jabatan tersebut.
Sebagai jabatan TUN yang mempunyai kewenangan pemerintahan, sehingga sanggup menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa TUN sanggup dikelompokkan menjadi:
a. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala eksekutif.
b. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan direktur yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan.
c.  Badan-badan aturan privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
d.  Instansi-instansi yang merupakan kolaborasi antara pemerintahan dan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
e. Lembaga-lembaga aturan swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan      (Siti Soetami, 2005: 5).
Untuk sanggup menentukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjadi Tergugat dalam Sengketa Tata Usaha Negara, perlu lebih dahulu diperhatikan jenis dari wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut pada waktu mengeluarkan KTUN. Jenis wewenang yang dimaksud adalah:

1. Atribusi; yakni wewenang yang eksklusif diberikan atau eksklusif ditentukan oleh peraturan perundang-undangan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal ini, yang menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara yakni yang mendapatkan wewenang secara atribusi ini.
2. Mandat; adalah wewenang yang diberikan kepada mandataris (penerima mandat) dari mandans (pemberi mandat) melaksanakan wewenang untuk dan atas nama mandans. Pada wewenang yang diberikan dengan mandat, mandataris hanya diberikan kewenangan untuk mengeluarkan KTUN untuk dan atas nama mandans, dengan demikian tidak hingga ada pengalihan wewenang dari mandans kepada mandataris. Oleh lantaran itu, tanggungjawab atas dikeluarkannya KTUN tersebut masih tetap ada pada mandans, sehingga yang menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara yakni mandans (Pemberi mandat).
3. Delegasi; adalah wewenang yang diberikan dengan penyerahan wewenang dari delegans (pemberi delegasi) kepada delegataris (penerima delegasi). Dalam hal ini, delegataris telah diberikan tanggung jawab untuk mengeluarkan KTUN untuk dan atas nama delegataris sendiri, sehingga yang menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara yakni delegataris (Penerima Delegasi).

Obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara
Yang menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara yakni Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara yakni penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan aturan tata perjuangan negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan tanggapan aturan bagi seseorang atau tubuh aturan perdata.

Penetapan tertulis bukan hanya dilihat dari bentuknya saja tetapi lebih ditekankan kepada isinya, yang berisi kejelasan tentang:
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
b. Maksud serta mengenai hal apa isi goresan pena tersebut; dan
c. Kepada siapa goresan pena itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa sebuah memo atau nota pun kalau sudah memenuhi ketiga kreteria diatas sanggup dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
- Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara yakni Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada dikala tindakan aturan TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, dikala itu juga sanggup dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yakni segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan kiprah legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, sanggup dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.
-          Berisi tindakan Hukum TUN
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis yakni salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan aturan TUN, dan suatu tindakan aturan TUN itu yakni suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu kekerabatan aturan TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk sanggup dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu tanggapan aturan TUN.
-      Berdasarkan Peraturan perundang-undangan; yang dimaksud yakni semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum, yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik ditingkat sentra maupun ditingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara , baik ditingkat sentra maupun tingkat tempat yang juga mengikat secara umum (Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 perihal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yakni peraturan tertulis yang dibuat oleh forum negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
-      Bersifat konkret diartikan obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau sanggup ditentukan. Misalnya; Keputusan mengenai Pembongkaran rumah Dewi Setyawati, Ijin Mendirikan Bangunan bagi Komang Sriwati, atau Surat Keputusan Pemberhentian dengan Hormat Ketut Kaplug sebagai Pegawai Negeri. Dengan kata lain wujud dari keputusan tersebut sanggup dilihat dengan kasat mata, namun terhadap ketentuan ini ada pengecualian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berbunyi:
(1) Apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan TUN;
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud;
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dalam ayat (2), maka setelah lewat waktu empat bulan semenjak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
-          Bersifat individual, diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari satu orang, maka tiap-tiap individu harus dicantumkan namanya dalam keputusan tersebut.
-          Bersifat final, diartikan keputusan tersebut sudah definitif , keputusan yang tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya keputusan ini sanggup menimbulkan tanggapan hukum.

-          Menimbulkan tanggapan aturan bagi seseorang atau tubuh aturan perdata
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana aturan yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan aturan ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan tanggapan aturan bagi seseorang atau tubuh aturan perdata. Apabila tidak sanggup menimbulkan tanggapan aturan ia bukan suatu tindakan aturan dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus bisa menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan aturan yang telah ada, seperti:
a.       Menguatkan suatu kekerabatan aturan atau keadaan aturan yang telah ada (declaratoir);
b.      Menimbulkan suatu kekerabatan aturan atau keadaan aturan yang gres (constitutief)
c.      1. Menolak untuk menguatkan kekerabatan aturan atau keadaan aturan yang telah ada.
Menolak untuk menimbulkan kekerabatan aturan atau keadaan aturan yang gres (Amrah Muslimin, 1985: 118-119)
Syarat-syarat untuk sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yakni sebagai berikut :

1. Syarat Materiil :
a)      Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ;
b)      Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ;
c)      Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.
d)     Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar ;

2. Syarat Formil :
a)      Syarat-syarat yang ditentukan yang bekerjasama dengan persiapan dibuatnya keputusan dan yang bekerjasama dengan cara dibuatnya keputusan, harus dipenuhi ;
b)      Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ;
c)      Syarat-syarat yang ditentukan yang bekerjasama dengan dilakukannya keputusan, harus dipenuhi ;
d)     Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang mengakibatkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati ;
Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan bahwa tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan undang-undang ini:
1.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan aturan perdata;
2.      Keputusan tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3.      Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat aturan pidana;
5.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil investigasi tubuh peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6.      Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata perjuangan Tentara Nasional Indonesia;
7.      Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di sentra maupun di tempat mengenai hasil pemilihan umum.
Dengan demikian, maka keputusan-keputusan tersebut diatas tidak sanggup dijadikan obyek sengketa yang menjadi kompetensi mengadili dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Pembatasan ini diadakan, oleh lantaran ada beberapa jenis keputusan yang lantaran sifat atau maksudnya memang tidak sanggup digolongkan dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan undang-undang ini (Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomo 9 Tahun 2004).

BAB III
KEWENANGAN DAN SUSUNAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara

Menurut Friedrich Julius Stahl (dalam Siti Soetami, 2005: 9) bahwa di negara aturan segala perbuatan yang merugikan setiap orang ataupun hak-hak setiap orang sanggup diawasi pengadilan, sedangkan review-nya (peninjauan kembali) sanggup disalurkan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam hal ini, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan saranacontrol on the administration.
Pasal 47 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa: ”Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menuntaskan Sengketa Tata Usaha Negara”. Dengan demikian, maka wewenang PTUN sanggup dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:
1. Memeriksa,
2. Memutus, dan
3. Menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara.
Ketiga kewenangan ini merupakan Kekuasaan Absolut (Kompetensi Absolut) dari pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Namun tidak semua Sengketa Tata Usaha Negara menjadi kiprah dan wewenang PTUN untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikannya, lantaran dari ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sanggup diketahui bahwa PTUN tidak mempunyai wewenang untuk memeriksa, memutus dan menuntaskan Sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a.    Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan petaka atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.    Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Susunan Pengadilan dan Tempat Kedudukan
Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan dalam 3 (tiga) tingkatan peradilan, yaitu:

1. Makhamah Agung; sebagai pengadilan tertinggi dalam kekuasaan kehakiman, yang berfungsi untuk menilik di tingkat kasasi masalah yang telah diputus oleh pengadilan ditingkat bawahnya. Mahkamah Agung mempunyai tempat kedudukan di Ibu Kota Negara Indonesia, yaitu Jakarta.

2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara; yang mempunyai kiprah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu:
1)      Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang menilik dan memutus Sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding.
2)      Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang menilik dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam tempat hukumnya.
3)      Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menuntaskan di tingkat pertama Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
4)      Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) sanggup diajukan permohonan kasasi.
Dari uraian pasal tersebut sanggup diketahui bahwa ada 3 (tiga) kiprah pokok Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yaitu:
1.      Memeriksa dan memutus di tingkat banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
2.      Memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir apabila ada sengketa kewenangan untuk mengadili.
3.      Memeriksa, memutus dan menuntaskan pada tingkat pertama terhadap Sengketa Tata Usaha Negara yang telah menempuh upaya manajemen berupa banding manajemen atau keberatan dan banding manajemen (Pasal 48 dan Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 1991).
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di tingkat propinsi yang dibuat berdasarkan undang-undang. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang pertama kali dibuat berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1990 yakni Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Medan dan Ujung Pandang.

3.  Pengadilan Tata Usaha Negara; pengadilan yang berwenang memeriksa, memutus dan menuntaskan Sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama. Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di tingkat kabupaten, namun belum semua kabupaten di Indonesia mempunyai Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara dibuat berdasarkan Kepres, yang pertama sekali terbentuk berdasarkan Kepres Nomor 52 Tahun 1990 yakni Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Selanjutnya yang dibuat berdasarkan Kepres Nomor 16 Tahun 1992 yakni Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang, Bandung dan Padang.

  
BAB IV
KEIKUTSERTAAN PIHAK KETIGA DAN DASAR PENGUJIAN KTUN

4.1 Keikutsertaan Pihak Ketiga
Dalam proses penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, di samping Penggugat dan Tergugat adakala ada pihak ketiga yang mempunyai kepentingan terhadap penyelesaian Sengketa Tata Usahan Negara tersebut, sehingga kepadanya perlu diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara yang dimaksud.
Keikutsertaan pihak ketiga ini sering disebut dengan istilah PihakIntervensi, hal ini diatur dalam Pasal 83 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang menentukan bahwa:
1)      Selama investigasi berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, sanggup masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai:
a.       pihak yang membela haknya; atau
b.      peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
2)      Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sanggup dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam gosip program sidang.
3)      Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak sanggup diajukan sendiri, tetapi harus bahu-membahu dengan permohonan banding terhadap putusan simpulan dalam pokok sengketa.
Dari ketentuan Pasal 83 ayat (1) tersebut sanggup diketahui bahwa Pihak Intervensi dapat masuk kedalam sengketa Tata Usaha Negara, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Inisiatif untuk masuk kedalam sengketa Tata Usaha Negara sanggup berasal dari ajakan hakim, prakarsa sendiri atau dimungkinkan juga atas ajakan dari para pihak yang bersengketa.
2.      Kedudukan Pihak Intervensi adalah sebagai pihak yang membela haknya atau bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (Penggugat Intervensi atau Tergugat Intervensi).
3.      Keikutsertaan Pihak Intervensi dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, hanya sanggup dilakukan selama investigasi berlangsung. Hal ini dipertegas dengan Surat Ketua Muda MA Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Tanggal 14 Oktober 1993 Nomor 222/Td.TUN/X/1993, yang menyatakan bahwa somasi intervensi sanggup diajukan paling lambat sebelum investigasi saksi-saksi, hal mana untuk menghindari investigasi persiapan yang harus diulangi lagi.

4.2 Dasar Pengujian Keputusan Tata Usaha Negara
Dasar pengujian yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap KTUN yang disengketakan sama dengan dasar somasi yang diajukan oleh Penggugat. Menurut Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, ditentukan alasan-alasan yang sanggup dipakai dalam gugatan, yaitu:
1.      KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2.      KTUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
KTUN sanggup dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila keputusan yang bersangkutan:
1.      Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal (Aspek Prosedural).
2.      Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/substansial (Aspek Substansi).
3.      Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang (Aspek Kewenangan).
Tidak berwenang disini sanggup berupa:
a.       Tidak berwenang ratione materiae, misalnya Kepala Dinas Pendidikan mengeluarkan Surat Keterangan Kesehatan, padahal yang seharusnya berwenang mengeluarkan surat keterangan tersebut yakni dokter.
b.       Tidak berwenang ratione loci, misalnya Bupati Buleleng mengeluarkan Surat Perintah Pembongkaran Rumah yang ada di Kabupaten Jembrana.
c.       Tidak berwenang ratione temporis, misalnya Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat yang sudah habis masa tugasnya, tetap mengeluarkan KTUN (E. Utrecth, 1990: 80).
Asas umum pemerintahan yang baik (Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur) dipakai sebagai dasar pengujian terhadap KTUN berdasarkan yurisprudensi, yaitu Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang tanggal 6 Juli 1991 Nomor 06/PTUN/G/PLG/1991 (Jazim Hamidi, 2000: 37). Hal ini kemudian diperkuat oleh Pasal 53 ayat (2) abjad b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yang memberi dasar aturan perihal penggunaan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai dasar pengujian terhadap KTUN.
Menurut yurisprudensi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang tanggal 6 Juli 1991 Nomor 06/PTUN/G/PLG/1991, yang dimaksud dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik yakni ”asas aturan kebiasaan yang secara umum sanggup diterima berdasarkan rasa keadilan kita yang tidak dirumuskan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan tetapi yang didapat dengan jalan analisis dari yurisprudensi maupun dari literatur aturan yang harus diperhatikan pada setiap perbuatan aturan administratif yang dilakukan oleh penguasa (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara)”.
Sedangkan berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2009, bentuk dari Asas Umum Pemerintahan yang Baik adalah:
a.       Dalam bentuk tertulis, dan
b.       Dalam bentuk tidak tertulis
Ad. a. Dalam bentuk tertulis sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 perihal Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, sebagai berikut:
1.      Asas Kepastian Hukum; yaitu asas dalam negara aturan yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
2.      Asas Tertib Penyelenggara Negara; yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.
3.      Asas Kepentingan Umum; yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
4.      Asas Keterbukaan; yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif perihal penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan pertolongan atas hak asasi pribadi, golongan dan diam-diam negara.
5.      Asas Proporsionalitas; yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara.
6.      Asas Profesionalitas; yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan instruksi etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.      Asas Akuntabilitas; yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil simpulan dari kegiatan Penyelenggara Negara harus sanggup dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ad. b. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tidak tertulis, sanggup diketahui dari pendapat yang dikemukakan oleh para pakar.
Misalnya:
1. Asas Keseimbangan; asas ini menghendaki suatu eksekusi yang dijatuhkan kepada pelanggar biar seimbang dengan kesalahan yang dilakukan oleh pelanggar.
Khusus untuk pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil, dengan maksud biar sanggup diperoleh keseimbangan antara eksekusi dan kesalahan, Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 menentukan bahwa sebelum menjatuhkan eksekusi disiplin, pejabat yang berwenang menghukum wajib menilik lebih dahulu PNS yang disangka melaksanakan pelanggaran disiplin.
Tujuan investigasi itu yakni untuk mengetahui apakah PNS yang bersangkutan benar atau tidak melaksanakan pelanggaran disiplin serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong atau mengakibatkan ia melaksanakan pelanggaran disiplin itu. Pemeriksaan harus dilakukan dengan teliti dan obyektif, sehingga dengan demikian pejabat yang berwenang menghukum sanggup mempertimbangkan dengan seadil-adilnya perihal jenis eksekusi disiplin yang akan dijatuhkan.
2. Asas Kesamaan; asas ini menghendaki biar terhadap masalah atau fakta yang sama, Badan atau Pejabat TUN harus mengeluarkan KTUN yang isinya sama.
Indriharto (1993; 188) mengingatkan bahwa asas kesamaan ini hanya diterapkan terhadap hal-hal atau keadaan-keadaan yang semata-mata masuk yurisdiksi instansi yang keputusannya disengketakan, sehingga tidak relevan untuk diterapkan bagi kebijaksanaan yang ditempuh oleh instansi lain.
3. Asas Bertindak Cermat
Asas ini menghendaki biar setiap tindakan dari Badan atau Pejabat TUN harus dilakukan dengan cermat atau dengan perkataan lain sebelum Badan atau Pejabat TUN mengambil suatu tindakan biar dipikirkan dan dipertimbangkan masak-masak semua kepentingan yang terkait, baik kepentingan para pihak maupun kepentingan pihak ketiga.
Tujuan dari penerapan asas ini biar kerugian yang ditimbulkan terhadap seseorang itu jangan hingga melampaui yang diharapkan untuk melindungi suatu kepentingan yang harus dilakukan dengan cara mengeluarkan KTUN yang bersangkutan.
4. Asas Keadilan dan Kewajaran
Menurut Kuntjoro Purbopranoto (1985: 330 yang dimaksud asas ini yakni menyatakan terlarang suatu tindakan yang ”willekeureg” dan apabila tubuh pemerintahan bertindak bertentangan dengan asas ini, maka tindakan itu sanggup dibatalkan. Asas ini sama dengan asas larangan berbuat sewenang-wenang (larangan willekeur) sebagaimana dimaksud dalam klarifikasi Pasal 53 ayat (2) abjad c UU Nomor 5 Tahun 1986.
5. Asas Kebijaksanaan
Asas kebijaksanaan pada pada dasarnya berisi tentang:
-          pengetahuan yang tandas dan analisis situasi yang dihadapi;
-          rancangan penyelesaian atas dasar staatsidee atau rechtsidee yang disetujui bersama, yaitu pancasila;
-          mewujudkan rancangan penyelesaian untuk mengatasi situasi dengan tindakan perbuatan dan klarifikasi yang tepat, yang dituntut oleh situasi yang dihadapi.


BAB V
PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, menentukan bahwa:
(1)  Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menuntaskan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
(2)  Pengadilan gres berwenang memeriksa, memutus dan menuntaskan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jikalau seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Dari uraian pasal tersebut maka sanggup dipahami bahwa ada dua pilihan yang sanggup dilakukan apabila terjadi sengketa Tata Usaha Negara, yaitu:
1.      Pihak Penggugat wajib atau harus menempuh upaya administratif terlebih dahulu jikalau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan tersebut diberikan wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menuntaskan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara.
2.      Pihak Penggugat sanggup eksklusif menempuh upaya peradilan jikalau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN yang disengketakan tersebut tidak diberikan wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menuntaskan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara.

5.1 Upaya Adminstratif
Dalam beberapa literatur ditemukan beberapa istilah yang lazim dipakai untuk menyebut istilah upaya administratif, antara lain administratif beroep, quasi rechtspraak atau administratif semu (Marbun, 1997: 65). Yang dimaksud dengan upaya administratif yakni suatu mekanisme yang sanggup ditempuh oleh seseorang atau tubuh aturan perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara (Penjelasan Pasal 48 ayat (1)).
Upaya administratif dimaksudkan sebagai kontrol atau pengawasan yang bersifat intern dan refresif di lingkungan Tata Usaha Negara terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Upaya administratif ini sanggup dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1.   Keberatan; yaitu mekanisme yang sanggup ditempuh oleh seseorang atau tubuh aturan perdata yang tidak puas terhadap KTUN, yang penyelesaiannya dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN tersebut.
2.   Banding Administratif; yaitu mekanisme yang sanggup ditempuh oleh seseorang atau tubuh aturan perdata yang tidak puas terhadap KTUN, yang penyelesaiannya dilakukan oleh instansi atasan dari Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN tersebut atau instansi lain dari Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN tersebut.
Upaya-upaya tersebut sanggup ditempuh apabila Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan KTUN tersebut diberikan wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menuntaskan secara administratif, baik berupa; keberatan saja, banding administratif saja atau keberatan dan banding administratif.
Tindak lanjut dari upaya administratif ini berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 (butir IV.2 abjad a dan b), sanggup diketahui bahwa Mahkamah Agung memperlihatkan petunjuk pelaksanaan perihal penyelesaian sengketa TUN selanjutnya jikalau orang atau tubuh aturan perdata masih belum puas terhadap keputusan dari upaya administratif yang telah diajukan, yaitu:
b.   Jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN yang menimbulkan terjadinya sengketa TUN upaya administratif yang tersedia yakni keberatan, maka penyelesaian selanjutnya yakni dengan mengajukan somasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
c.   Jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN yang menimbulkan terjadinya sengketa TUN, upaya administratif yang tersedia yakni banding administratif atau keberatan dan banding administratif, maka penyelesaian selanjutnya yakni dengan mengajukan somasi ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Kelebihan-kelebihan yang sanggup diperoleh ketika menuntaskan sengketa TUN melalui upaya administratif adalah:
1.      Badan atau Pejabat TUN, instansi atasan atau instansi lain dari Badan atau Pejabat TUN yang menilik sengketa TUN yang tersedia upaya administratif, investigasi yang dilakukan sifatnya menyeluruh, baik dari segi hukumnya (rechtsmatigheid) maupun dari segi kebijaksanaan (doelmatigheid) dikeluarkannya KTUN yang menimbulkan terjadinya sengketa TUN.
2.      Badan atau Pejabat TUN, instansi atasan atau instansi lain dari Badan atau Pejabat TUN yang menilik sengketa TUN yang tersedia upaya administratif sanggup mengganti, mengubah atau meniadakan atau sanggup memerintahkan untuk mengganti, mengubah atau meniadakan KTUN yang menimbulkan terjadinya sengketa TUN tersebut.
3.      Pada waktu Badan atau Pejabat TUN, instansi atasan atau instansi lain dari Badan atau Pejabat TUN menjatuhkan putusan terhadap sengketa TUN yang tersedia upaya administratif, dalam pertimbangannya sanggup memperhatikan perubahan yang terjadi setelah dikeluarkannya KTUN yang menimbulkan terjadinya sengketa TUN.

5.2 Upaya Peradilan.
Upaya peradilan artinya upaya melalui Badan Peradilan, somasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara Tingkat I, banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan kasasi ke Mahkamah Agung. Upaya peradilan sanggup dilakukan melalui Acara Pemeriksaan Biasa, Acara Pemeriksaan Singkat dan Acara Pemeriksaan Cepat, tergantung kepada kepentingan Penggugat. Lebih terperinci sanggup diuraikan sebagai berikut:

5.2.1 Acara Pemeriksaaan Biasa
a. Pengajuan Gugatan
Pengajuan somasi dalam Hukum Acara TUN agak berbeda dengan Hukum Acara Perdata pada peradilan umum, lantaran adanya pembatasan waktu pengajuan somasi yang diatur dalam Pasal 55, dimana disebutkan bahwa somasi sanggup diajukan hanya dalam batas waktu tenggang 90 hari terhitung semenjak dikala diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan/Pejabat TUN.

- Prosedur Pengajuan Gugatan
Pada prinsipnya setiap orang atau tubuh aturan perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN sanggup mengajukan somasi tertulis kepada pengadilan yang berwenang, yang berisi tuntutan biar KTUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi (Pasal 53 ayat (1)).
Pengajuan somasi TUN sanggup dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu:
a. Gugatan diajukan eksklusif oleh Penggugat, atau
b. Gugatan diajukan melalui pos oleh Penggugat

Ad. a
Gugatan yang diajukan eksklusif oleh Penggugat diterima oleh panitera, tetapi tidak eksklusif dimasukkan ke dalam daftar masalah sebelum Penggugat membayar uang muka biaya masalah yang besarannya ditafsir oleh Panitera. Setelah uang muka biaya masalah dibayar, somasi dimasukkan dalam daftar masalah untuk mendapatkan nomor masalah dan somasi gres diproses untuk dilanjutkan.
Ad.b
Gugatan yang diajukan melalui pos, Panitera harus memberitahu perihal pembayaran Uang Muka Biaya Perkara kepada Penggugat dengan diberi waktu paling usang 6 (enam) bulan bagi Penggugat itu untuk memenuhinya dan kemudian diterima di Kepaniteraan terhitung semenjak tanggal dikirimnya surat pemberitahuan tersebut. Setelah lewat batas waktu tenggang tersebut dan Uang Muka Biaya Perkara belum diterima di Kepaniteraan, maka somasi tidak akan didaftar. Gugatan yang dikirim melalui pos yang belum dipenuhi pembayaran uang muka biaya masalah tersebut tetap disimpan oleh Panitera Muda Bidang Perkara dan harus dicatat dalam Buku Pembantu Register dengan mendasarkan pada tanggal diterimanya somasi tersebut, mengingat ketentuan batas waktu tenggang dalam Pasal 55. Dengan demikian, somasi yang diajukan melalui pos oleh Penggugat ibarat halnya somasi yang diajukan eksklusif oleh penggugat, gres diproses jikalau uang muka biaya masalah yang besarannya ditafsir oleh Panitera telah dibayar.
Pengajuan somasi secara tertulis tersebut, harus didasarkan pada alasan-alasan yang terperinci sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004, alasan-alasan tersebut adalah:
b.   KTUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.   KTUN yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
- Syarat-syarat Gugatan
Pasal 56 menentukan bahwa:
(1) Gugatan harus memuat:
a.   nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat, atau kuasanya;
b.   nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c.   dasar somasi dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan
(2) Apabila somasi dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka somasi harus disertai surat kuasa yang sah
(3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh penggugat.
Dari bunyi pasal tersebut sanggup dijelaskan bahwa syarat-syarat yang harus dimuat dalam surat somasi yakni sebagai berikut:
a. Identitas diri dari:
- Penggugat
- Tergugat
b. Dasar Gugatan (fundamentum petendi/posita/dalil gugat)
c. Hal yang diminta untuk diputus oleh pengadilan (petitum)
Gugatan tersebut juga harus disertai surat
Dasar somasi yang terdapat atau merupakan serpihan dari surat gugatan, fungsinya sangat penting dan menentukan pada investigasi di sidang pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, lantaran dari dasar somasi tersebut titik tolak investigasi di sidang pengadilan dilakukan.
Uraian mengenai dasar somasi pada surat gugat, untuk menuntaskan sengketa TUN sanggup berpedoman pada uraian mengenai dasar somasi dalam surat gugat untuk menuntaskan masalah perdata. Pada umumnya dasar somasi terdiri dari:
- Uraian perihal kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa (feitelijke gronden, factual gronden)
Uraian ini merupakan uraian mengenai duduk perkaranya, terutama tertuju pada dikeluarkannya KTUN oleh Tergugat, yang oleh Penggugat dirasa merugikan kepentingannya. Uraian ini juga menyangkut mengenai perbuatan-perbuatan Tergugat yang tidak tampak dalam suatu tulisan. Contoh: ”Pada tanggal .... bulan..... tahun.... tergugat tanpa mendengar atau memberi kesempatan untuk membela diri bagi penggugat, terlebih dahulu secara melawan aturan telah mengeluarkan SK Pemberhentian tidak atas ajakan sendiri untuk penggugat”.
- Uraian perihal dasar aturan somasi (rechts gronden, legal gronden)
Uraian ini yakni uraian mengenai segi aturan dari dasar somasi yang diajukan oleh penggugat. Uraian ini harus bisa mengemukakan bahwa KTUN yang disengketakan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 abjad a dan/atau b.
- Uraian perihal tuntutan (petitum)
Dalam uraian ini harus ada keterkaitan antara fundamentum petendi dengan petitum, dalam arti apa yang terdapat dalamfundamentum petendi menjadi dasar dari apa yang terdapat dalampetitum. Pada pada dasarnya isi dari petitum adalah tuntutan biar KTUN yang disengketakan dinyatakan batal atau tidak sah. Petitum ini sanggup ditambahi dengan petitum tambahan yaitu tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
- Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
Ketentuan perihal batas waktu tenggang somasi harus diperhatikan jikalau seseorang atau tubuh aturan perdata akan mengajukan somasi ke pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, lantaran dengan lewatnya batas waktu tenggang gugatan, Ketua Pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai alasan untuk memutuskan dengan penetapan bahwa somasi tidak diterima atau tidak berdasar (Pasal 62 ayat (1) abjad e).
Pasal 55 menyatakan bahwa ”Gugatan sanggup diajukan hanya dalam batas waktu tenggang sembilan puluh hari terhitung semenjak dikala diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”. Kalimat ”saat diterimanya” mengadung 2 (dua) pengertian, yaitu diterima secara eksklusif oleh yang bersangkutan dan diterima melalui pos tercatat atau pos biasa. Sedangkan bagi KTUN yang diumumkan maka batas waktu tenggang 90 hari terhitung mulai tanggal KTUN itu diumumkan.
Terhadap KTUN yang merupakan kategori Pasal 3 maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.   Pasal 3 ayat (2), maka batas waktu tenggang 90 hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu tenggang yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung semenjak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan;
b.   Pasal 3 ayat (3), maka batas waktu tenggang 90 hari itu dihitung setelah lewatnya batas waktu empat bulan yang dihitung semenjak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan.
c.   Dalam hal peraturan dasarnya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan, maka batas waktu tenggang 90 hari itu dihitung semenjak hari pengumuman tersebut.
Bagi pihak lain yang tidak dituju oleh KTUN tersebut tetapi merasa dirugikan tanggapan dikeluarkannya KTUN tersebut, maka batas waktu tenggang somasi dari pihak yang dirugikan tersebut yakni 90 hari semenjak dikala seseorang atau tubuh aturan perdata itu merasa kepentingannya dirugikan oleh KTUN dan mengetahui adanya keputusan tersebut, namun hal ini harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Bagi KTUN yang telah diajukan upaya administratif maka batas waktu tenggang 90 hari dihitung dari tanggal keputusan administratif diterima oleh yang bersangkutan.
Dengan lewatnya batas waktu tenggang gugatan, maka KTUN tidak sanggup digugat lagi dengan sarana aturan yang ada, meskipun KTUN tersebut mengandung cacat hukum, kecuali atas kemauan sendiri Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang mencabut atau mengubah KTUN dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Biaya Perkara
Pada prinsipnya biaya masalah ditanggung oleh pihak yang dikalahkan, namun sebelum diputuskan oleh Pengadilan maka Penggugat dibebankan untuk menanggung biaya masalah yang sifatnya talangan, disebut dengan Uang Muka Biaya Perkara. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 59 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986, yaitu “Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya ditafsir oleh Panitera Pengadilan”. Menurut Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 1991 ditentukan sekurang-kurangnya Uang Muka Biaya Perkara yakni Rp. 50.000,00 (Lima Puluh Ribu Rupiah).
Yang dimaksud dengan Uang Muka Biaya Perkara yakni biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai uang panjer oleh pihak Penggugat terhadap asumsi biaya yang diharapkan dalam proses berperkara, ibarat biaya kepaniteraan, biaya materai, biaya saksi, biaya asli, biaya alih bahasa, biaya investigasi ditempat lain dari ruang sidang, dan biaya lain yang diharapkan bagi pemutusan sengketa atas perintah hakim.
Setelah masalah selesai dan sudah diputus, apabila Penggugat dimenangkan maka Uang Muka Biaya Perkara akan dikembalikan tetapi apabila Penggugat dikalahkan maka biaya keseluruhan dari masalah tersebut dihitung, kalau Uang Muka Biaya Perkara melebihi dari biaya keseluruhan dari masalah tersebut maka kelebihannya akan dikembalikan, tetapi kalau Uang Muka Biaya Perkara lebih kecil dari biaya keseluruhan maka Penggugat wajib menambah Uang Muka Biaya Perkara untuk membayar biaya perkara.
Bagaimana kalau Penggugat tidak bisa untuk membayar uang muka biaya masalah ?. Terhadap hal ini, Pasal 60 ayat (1) menentukan bahwa Penggugat sanggup mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa dengan Cuma-Cuma. Permohonan untuk bersengketa dengan cuma-cuma (prodeo) oleh Penggugat diajukan bahu-membahu dengan surat somasi kepada Ketua Pengadilan dengan dilampirkan Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kepala Desa atau Lurah setempat. Pemeriksaan secara cuma-cuma ini juga berlaku pada tingkat banding dan kasasi.
b. Penelitian Administratif
Menurut Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 1991 dan Surat Ketua Muda MA Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tanggal 24 Maret 1992 Nomor 051/Td.TUN/III/1992, yang mempunyai wewenang untuk melaksanakan penelitian administratif yakni panitera, wakil panitera, dan panitera muda masalah sesuai dengan pembagian kiprah yang diberikan.
Obyek penelitian administratif ini yakni segi formalnya gugatan, apakah sudah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 56, tidak menyangkut perihal segi materiil dari gugatan. Dalam penelitian administratif, panitera harus memperlihatkan petunjuk-petunjuk yang diharapkan dan sanggup meminta kepada penggugat untuk memperbaiki atau melengkapi gugatannya.
c. Rapat Permusyawaratan
Setelah surat somasi diterima oleh Ketua Pengadilan dari Panitera, maka oleh Ketua Pengadilan surat somasi tersebut diperiksa dalam rapat permusyawaratan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986, yang menyatakan bahwa:
(1) Dalam Rapat Permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa somasi yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal:
a.    pokok somasi tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;
b.    syarat-syarat somasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan;
c.    gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d.   apa yang dituntut dalam somasi sebetulnya sudah terpenuhi oleh KTUN yang digugat;
e.    gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
(2) a. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya;
b. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan.
(3) a. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sanggup diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam batas waktu tenggang empat belas hari setelah diucapkan;
b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
(4) Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan program singkat.
(5) Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh pengadilan, maka penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gugur demi aturan dan pokok somasi akan diperiksa, diputus dan diselesaikan berdasarkan program biasa.
(6) Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak sanggup dipakai upaya hukum.
Pasal 1 abjad a hingga dengan e oleh Martiman Prodjohamidjojo (1996: 56), dijelaskan sebagai berikut:
-          Jika pokok somasi nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan, maka somasi dinyatakan tidak sanggup diterima (niet ontvankelijk verklaard);
-          Jika syarat dalam Pasal 56 ayat (1) abjad a dan b tidak dipenuhi oleh penggugat, maka somasi dinyatakan tidak sanggup diterima (niet ontvankelijk verklaard) dan jikalau syarat materiil dalam Pasal 56 ayat (1) abjad c tidak dipenuhi, maka somasi dinyatakan tidak berdasar (niet gegrond);
-          Jika somasi tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak (Pasal 53 ayat (2)), maka somasi dinyatakan tidak berdasar (niet gegrond);
-          Jika apa yang dituntut sebetulnya sudah dipenuhi oleh KTUN yang digugat, maka somasi dinyatakan tidak sanggup diterima.
-          Jika somasi yang diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya, maka somasi dinyatakan tidak sanggup diterima.
Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 02/PLW/1993-PEND/PTUN-JKT, yang dimaksud dengan Rapat Permusyawaratan diartikan sebagai raad kamer dalam investigasi kamar tertutup, dilakukan oleh Ketua Pengadilan tanpa adanya proses antar pihak-pihak dan tanpa dilakukan investigasi di muka umum, hal mana sesuai dengan maksud dan hakekat program singkat dalam proses dissmisal procedure, dengan demikian proses tersebut pada dasarnya merupakan suatu penanganan yang bersifat inquisitoir belaka yang merupakan pertahapan atau fase pendahuluan terhadap somasi yang diajukan (Yurisprudensi MA, 1993: 385)
Pemeriksaan surat somasi dalam rapat permusyawaratan merupakan suatu mekanisme penyelesaian yang disederhanakan, dimana Ketua Pengadilan diberikan wewenang untuk memutuskan dengan mengeluarkan suatu penetapan, yaitu penetapan dismissal yang menyatakan bahwa somasi yang diajukan ke pengadilan tidak diterima atau tidak berdasar.
Mengenai siapa yang ikut memutuskan dalam rapat permusyawaratan, terjadi perbedaan pendapat diantara para pakar Tata Negara. SF Marbun (1988:102) beropini bahwa program rapat permusyawaratan dilakukan sendiri oleh Ketua Pengadilan. Indroharto (1993:118) menyatakan bahwa rapat permusyawaratan dihadiri oleh mereka yang ikut dalam memutuskan masalah yang bersangkutan, yaitu Ketua Sidang dan para Anggota Majelis dan Panitera atau Panitera Pengganti yang akan ikut dalam persidangan. Sedangkan berdasarkan Philipus M. Hadjon (1995: 343), bahwa rapat permusyawaratan terdiri dari para hakim dan panitera yang diketuai oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara.
d. Pemeriksaan Persiapan
Pasal 63 undang-undang tersebut, menyatakan bahwa:
(1) Sebelum investigasi pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan investigasi persiapan untuk melengkapi somasi yang kurang jelas.
(2) Dalam investigasi persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim:
a.       wajib memberi nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki somasi dan melengkapinya dengan data yang diharapkan dalam jangka waktu tiga puluh hari;
b.      dapat meminta klarifikasi kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) abjad a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa somasi tidak sanggup diterima.
(4) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak sanggup dipakai upaya hukum, tetapi sanggup diajukan somasi baru.
Wewenang Hakim dalam Pemeriksaan Persiapan ini difungsikan untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai penggugat dalam mendapatkan informasi atau data yang diharapkan dari Badan atau Pejabat TUN mengingat antara penggugat dan Badan atau Pejabat TUN mempunyai kedudukan yang tidak sama. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka hakim sanggup meminta kepada Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan untuk mengirimkan KTUN yang sedang disengketakan itu kepada pengadilan, dan hakim sanggup meminta tergugat untuk memperlihatkan keterangan/penjelasan berkenaan dengan KTUN yang digugat. Namun pemanggilan tidak hanya dilakukan kepada tergugat, hakim juga sanggup memanggil penggugat untuk memperbaiki atau melengkapi gugatannya. Pemeriksaan persiapan juga difungsikan untuk mendapatkan bukti-bukti dan surat-surat yang berkaitan dengan gugatan.
e. Pemeriksaan Pokok Sengketa
Pemeriksaan pokok sengketa diawali dengan pemanggilan para pihak, berdasarkan Pasal 65 UU No 5 Tahun 1986 panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah, apabila masing-masing telah mendapatkan surat panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat. Surat panggilan yang ditujukan kepada Tergugat disertai salinan somasi dengan pemnberitahuan bahwa somasi itu sanggup dijawab dengan tertulis (Pasal 59 ayat (4)). Hal ini sesuai dengan asas yang dianut dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara yaitu asas beracara dengan surat atau goresan pena atauschriftelijke procedure (Martiman Prodjohamidjojo, 1996: 10).
Mengenai absensi para pihak, undang-undang telah memperlihatkan pengaturan sebagai berikut:
1. Penggugat tidak hadir
Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa ”Dalam hal Penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama dan hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alasan yang sanggup dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali dipanggil dengan patur, somasi dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya perkara”.
2. Tergugat tidak hadir
Pasal 72 UU Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa:
(1) Dalam hal tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi somasi tanpa alasan yang sanggup dipertanggungjawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan.
(2) Dalam hal setelah lewat dua bulan setelah dikirimkan dengan surat tercatat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka Hakim Ketua Sidang memutuskan hari sidang berikutnya dan investigasi sengketa dilanjutkan berdasarkan program biasa, tanpa hadirnya tergugat.
(3) Putusan terhadap pokok somasi sanggup dijatuhkan hanya setelah investigasi mengenai segi pembuktiannya dilakukan secara tuntas.
Pengadilan Tata Usaha Negara menilik dan memutus Sengketa Tata Usaha Negara dengan tiga orang Hakim (majelis). Persidangan dibuka dan dipimpin oleh Hakim Ketua Sidang (Pasal 68) dan menyatakan sidang terbuka untuk umum atau tertutup untuk umum. Hal ini sangat penting, lantaran jikalau tidak disampaikan sanggup mengakibatkan putusan pengadilan batal demi hukum.
Dalam proses investigasi di muka Pengadilan Tata Usaha Negara dimaksudkan untuk menguji apakah dugaan bahwa KTUN yang digugat itu melawan aturan beralasan atau tidak. Gugatan sifatnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya KTUN yang digugat tersebut, selama hal itu belum diputuskan oleh pengadilan maka KTUN itu harus dianggap berdasarkan hukum. Hal ini dikarenakan Hukum Tata Usaha Negara mengenal asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid) = praesumptio instae causa terhadap semua tindakan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, termasuk KTUN yang telah dikeluarkan (Suparto Wijoyo, 1997: 54).
Namun dalam keadaan-keadaan tertentu, penggugat sanggup mengajukan permohonan biar selama proses berjalan, KTUN yang digugat itu diperintahkan untuk ditunda pelaksanaannya. Pengadilan akan mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN tersebut hanya, apabila:
a.  Terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jikalau kerugian yang akan diderita penggugat akan sangat tidak seimbang dibanding dengan manfaat bagi kepentingan yang akan dilindungi oleh pelaksanaan KTUN tersebut, atau
b.  Pelaksanaan KTUN yang digugat itu tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan.
Tahapan-tahapan dalam investigasi pokok sengketa yakni sebagai berikut:
1. Tahap pembacaan isi somasi dari penggugat dan pembacaan jawaban dari tergugat
Pasal 74 ayat (1) menyatakan bahwa ”Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi somasi dan surat yang memuat jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang dan jikalau tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya”. Dalam prakteknya bisa saja hakim tidak membacakan somasi atas persetujuan tergugat, mengingat tergugat sudah mendapatkan salinan gugatan. Begitu juga terhadap jawaban somasi dari tergugat bisa saja tidak dibacakan oleh hakim tetapi hanya diserahkan salinannya kepada penggugat.
Jawaban yang diajukan oleh Tergugat sanggup berupa alternatif, sebagai berikut:
a.       Eksepsi saja, yang sanggup berupa:
   Eksepsi perihal kewenangan diktatorial pengadilan (Pasal 77 ayat (1)). Eksepsi ini sebetulnya sanggup diajukan setiap waktu selama investigasi dan meskipun tidak ada eksepsi tersebut, apabila hakim mengetahui lantaran jabatannya, wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan;
    Eksepsi perihal kewenangan relatif pengadilan (Pasal 77 ayat (2)). Eksepsi ini diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa;
    Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan (Pasal 77 ayat (3)). Eksepsi ini hanya sanggup diputus bahu-membahu dengan pokok sengketa.
a.       Jawaban pokok sengketa dan eksepsi, atau
b.      Jawaban pokok sengketa saja.
2. Tahap pengajuan replik
Replik diartikan penggugat mengajukan atau memperlihatkan tanggapan terhadap jawaban yang telah diajukan oleh tergugat. Sebelum penggugat mengajukan replik, atas dasar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 75 ayat (1), penggugat sanggup mengubah alasan yang mendasari gugatannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat. Replik diserahkan oleh penggugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada tergugat.
3. Tahap pengajuan duplik
Duplik diartikan tergugat mengajukan atau memperlihatkan tanggapan terhadap replik yang telah diajukan oleh penggugat. Dalam hal ini, sebelum mengajukan duplik tergugat juga diberikan kesempatan untuk mengubah alasan yang mendasari jawabannya, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (Pasal 75 ayat (2)). Duplik diserahkan oleh tergugat kepada Hakim Ketua Sidang dan salinannya oleh Hakim Ketua Sidang diserahkan kepada penggugat.
Setelah tergugat mengajukan duplik, kemudian Hakim Ketua Sidang memutuskan hari sidang untuk memperlihatkan kesempatan kepada penggugat dan tergugat mengajukan alat-alat bukti.
4. Tahap pengajuan alat-alat bukti
Pada tahap pengajuan alat-alat bukti, baik penggugat maupun tergugat sama-sama mengajukan alat-alat bukti yang terbatas berupa:
a. Surat atau goresan pena (Pasal 100 ayat (1) abjad a);
b. Keterangan mahir (Pasal 100 ayat (1) abjad b); dan
c. Keterangan saksi (Pasal 100 ayat (1) abjad c)
5. Tahap pengajuan kesimpulan
Pada tahap pengajuan kesimpulan ini, investigasi terhadap sengketa Tata Usaha Negara sudah selesai. Masing-masing pihak mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan dari hasil investigasi di sidang pengadilan mengenai sengketa Tata Usaha Negara antara penggugat dengan tergugat, yang pada dasarnya yakni sebagai berikut:
a.  Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang dikeluarkan oleh tergugat biar dinyatakan batal atau tidak sah.
b.  Tergugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang telah dikeluarkan yakni sah.
6. Tahap penjatuhan putusan
Setelah penggugat dan tergugat mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua Sidang menyatakan sidang ditunda, lantaran Majelis Hakim akan mengadakan musyawarah untuk mengambil putusan (Pasal 97 ayat (2)). Putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 108 ayat (1)), artinya siapapun sanggup hadir untuk mendengarkan putusan yang diucapkan. Sebagai tanggapan dari putusan yang diucapkan tidak dalam sidang yang terbuka untuk umum, putusan tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan aturan (Pasai 108 ayat (3)). Disamping itu putusan harus dituangkan dalam bentuk tertulis.
Jika terdapat perbedaan antara putusan yang diucapkan dengan putusan yang dituangkan dalam bentuk tertulis, maka yang sah yakni putusan yang diucapkan (Sudikno Mertokusumo, 1988: 168). Hal ini juga sesuai dengan Pasal 20 UU Nomor 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan aturan apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Terhadap putusan pengadilan tersebut, penggugat dan/atau tergugat sanggup menentukan perilaku sebagai berikut:
a.       menerima putusan pengadilan;
b.      1. mengajukan permohonan investigasi di tingkat banding, jikalau yang menjatuhkan putusan yakni Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 122)
2. mengajukan permohonan investigasi di tingkat kasasi, jikalau yang menjatuhkan putusan yakni Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama (Pasal 51 ayat (4)).
a.    Pikir-pikir dalam batas waktu tenggang 14 hari setelah diberitahukan secara sah putusan pengadilan, apakah mendapatkan putusan pengadilan atau mengajukan permohonan investigasi di tingkat banding atau kasasi.

5.2.2 Acara Pemeriksaan Cepat
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara memungkinkan untuk menuntaskan sengketa TUN dengan Acara Pemeriksaan Cepat, hal ini dituangkan dalam Pasal 98, yang menyatakan bahwa:
(1)  Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus sanggup disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya sanggup memohon kepada pengadilan supaya sengketa dipercepat.
(2)  Ketua Pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan perihal dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak sanggup dipakai upaya hukum
Dari ketentuan itu sanggup diketahui bahwa biar sanggup dilakukan investigasi dengan program cepat, sanggup diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1.      Dalam surat gugat harus sudah dimuat atau disebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar dari Penggugat untuk mengajukan permohonan biar investigasi sengketa TUN dipercepat.
2.      Dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh penggugat tersebut, sanggup ditarik kesimpulan adanya kepentingan dari penggugat yang cukup mendesak bahwa investigasi terhadap sengketa TUN tersebut memang perlu dipercepat.
3.      Terhadap kesimpulan tersebut dibuatkan keputusan oleh Ketua Pengadilan dalam bentuk penetapan
4.      Terhadap keputusan tersebut tidak sanggup dilakukan upaya hukum.

Kepentingan yang bersifat mendesak ini bersifat kasuistis, sehingga kepada Ketua Pengadilan diberikan kebebasan untuk membuat evaluasi terhadap alasan-alasan yang diajukan oleh penggugat dalam permohonannya biar sengketa TUN sanggup dipercepat pemeriksaannya. Contoh kasus: Sengketa TUN yang obyeknya KTUN perihal Perintah Pembongkaran Bangunan atau Rumah yang ditempati penggugat.
Proses investigasi dalam Acara Pemeriksaan Cepat hampir sama dengan Acara Pemeriksaan Biasa hanya waktu pelaksanaannya yang dipercepat dan tidak ada investigasi persiapan. Proses tersebut terdiri dari: Pengajuan Gugatan, Penelitian Administratif, Rapat Permusyawaratan, Pemeriksaan Pokok Sengketa dan Penjatuhan Putusan.
Dalam Pemeriksaan Pokok Sengketa perlu diperhatikan hal-hal sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 99 UU Nomor 5 Tahun 1986, yang menyatakan bahwa:
(1) Pemeriksaan dengan program cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui mekanisme investigasi persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
(3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari.
Keuntungan dari investigasi program cepat yakni putusannya sanggup lebih cepat, namun kelemahannya bagi pihak ketiga tidak sanggup masuk dalam proses persidangan dan resiko perihal fakta tidak sekuat dan meyakinkan ibarat dalam program biasa.


BAB VI
PEMBUKTIAN
Pembuktian yakni tata cara untuk memutuskan terbuktinya fakta yang menjadi dasar dari pertimbangan dalam menjatuhkan suatu putusan. Fakta dimaksud sanggup terdiri dari:
a.         Fakta Hukum; yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang eksistensinya (keberadaannya) tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan.
b.        Fakta Biasa; yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta aturan tertentu (Indroharto, 1993: 165-186)
6.1 Ajaran Pembuktian
Dalam klarifikasi umum UU Nomor 5 Tahun 1986 angka 5 disebutkan bahwa:
Dalam undang-undang ini juga diatur mengenai aturan program yang dipakai dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara yang mempunyai persamaan dengan aturan program yang dipakai pada Peradilan Umum untuk masalah perdata, dengan beberapa perbedaan, antara lain:
a.       pada Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang ini mengarah kepada aliran pembuktian bebas;
b.       suatu somasi Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
Dari klarifikasi umum itu sanggup diketahui bahwa aliran pembuktian dalam Peradilan Tata Usaha Negara yakni aliran pembuktian bebas, hal ini dikarenakan untuk memperoleh kebenaran materiil dan bukan kebenaran formil. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 109) aliran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas yakni aliran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada hakim. Namun dengan adanya persyaratan ”untuk sahnya pembuktian diharapkan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim (Pasal 107) maka berdasarkan Indiharto (1993: 200) bahwa aliran pembuktian yang diikuti oleh pembuat undang-undang ini bukan aliran pembuktian bebas, tetapi aliran pembuktian bebas terbatas.
Sebagai konsekuensi dari aliran pembuktian bebas maka Hakim sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 107 sanggup menentukan sendiri tentang:
1. Apa yang harus dibuktikan.
Hakim dalam investigasi di sidang pengadilan tidak tergantung atau tidak terikat pada fakta atau hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat, artinya hakim sanggup saja menganyampingkan fakta dan hal yang diajukan oleh penggugat atau tergugat. Demikian pula, hakim sanggup saja menilik lebih lanjut perihal fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak cukup dibantah, apabila fakta dan hal tersebut mempunyai arti yang relevan untuk dijadikan dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan yang pada dikala investigasi di sidang pengadilan belum cukup niscaya keadaannya.
2.  Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri.
Dalam memeriksa, memutus, dan menuntaskan sengketa TUN, hakim mempunyai kebebasan atau sanggup menentukan sendiri yang harus dibebani pembuktian. Siapa yang dibebani pembuktian merupakan duduk masalah pembagian beban pembuktian, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusan.
Menurut Suparto Wijoyo (1997: 119) hakim sanggup saja menerapkan beban pembuktian terbalik atau pembagian beban yang seimbang sesuai dengan kearifan hakim. Sedangkan berdasarkan Indroharto (1993: 192) bahwa kewajiban untuk membuktikan itu tidak ada pada pihak-pihak, tetapi barangsiapa diberi beban untuk membuktikan sesuatu dan tidak melakukannya, akan menanggung suatu resiko bahwa beberapa fakta yang mendukung positanya akan dikesampingkan dan dianggap tidak terbukti.
3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian
Menurut Indroharto (1993: 204) bahwa masing-masing alat bukti sebagaimana ditentukan oleh Pasal 100 ayat (1) mempunyai derajat bobot yang sama, artinya tidak ada tingkat-tingkat mengenai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti tersebut atau tidak ada perbedaan mengenai kekuatan pembuktian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain. Namun demikian, hakim mempunyai wewenang untuk menentukan alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti tersebut dan memperlihatkan evaluasi perihal kekuatan pembuktian dari alat bukti tersebut untuk dipergunakan dalam pembuktian.
4. Kekuatan pembuktian alat bukti yang telah diajukan.
Hakim mempunyai wewenang untuk memperlihatkan evaluasi terhadap hasil pembuktian dalam memeriksa, memutus, dan menuntaskan Sengketa TUN dengan memperhatikan persyaratan yaitu ”untuk sahnya pembuktian diharapkan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim”.
6.2 Alat Bukti
Pasal 100 UU Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan bahwa:
(1) Alat bukti ialah:
a.       surat atau tulisan;
b.      keterangan ahli;
c.       keterangan saksi;
d.      pengakuan para pihak;
e.       pengetahuan hakim.
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Dari ketentuan pasal tersebut sanggup diuraikan jenis-jenis alat bukti yang dipergunakan dalam Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu sebagai berikut:
1. Alat bukti Surat atau Tulisan
Menurut Sudikno Mertokusumo (1988: 116) yang dimaksud dengan surat atau goresan pena yakni segala sesuatu yang memuat gejala bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk memberikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Surat sebagai alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 101 terdiri atas tiga jenis, yaitu:
a. Akta Otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti perihal insiden atau insiden aturan yang tercantum di dalamnya.
b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti perihal insiden atau insiden aturan yang tercantum didalamnya.
c. Surat-surat lain yang bukan akta.
2. Alat bukti Keterangan Ahli
Keterangan mahir yakni pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan perihal hal yang ia ketahui berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya (Pasal 102 ayat (1)). Hal ini, ditegaskan kembali dalam Pasal 103 ayat (2) yang menyatakan bahwa ” Seorang mahir dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau komitmen berdasarkan kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya”.
Dari kedua pasal tersebut sanggup disimpulkan bahwa keterangan dari spesialis sanggup dijadikan alat bukti, apabila:
- keterangan tersebut disampaikan di depan persidangan;
- keterangan tersebut disampaikan dibawah sumpah atau janji;
- bisa dalam bentuk tertulis maupun lisan; dan
- tentang apa yang ia ketahui berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya
Siapa yang sanggup didengar keterangannya sebagai mahir di sidang pengadilan tergantung kepada penunjukan Hakim Ketua Sidang berdasarkan atas ajakan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau lantaran jabatannya. Namun demikian, berdasarkan Pasal 88 ada pengecualian terhadap seseorang yang didengar keterangannya sebagai mahir di depan persidangan, yaitu:
a. Keluarga sedarah atau semenda berdasarkan garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah hingga derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa;
b. Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;
c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun; dan
d. Orang sakit ingatan.
3. Alat Bukti Keterangan Saksi
Pasal 104 menyatakan bahwa ”Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri”. Dari bunyi pasal tersebut sanggup dijelaskan bahwa keterangan saksi yakni keterangan seseorang yang didengar oleh hakim selama investigasi masalah dilakukan, berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar sendiri oleh saksi.
Dalam melaksanakan investigasi terhadap seseorang sebagai saksi juga harus diperhatikan atau berlaku juga ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 88 undang-undang ini. Disamping itu, walaupun menjadi saksi yakni suatu kewajiban namun seseorang sanggup mengundurkan diri sebagai saksi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 89 ayat (1), dengan alasan:
a. Saudara pria dan perempuan, ipar pria dan wanita salah satu pihak;
b.Setiap orang yang lantaran martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang bekerjasama dengan martabat, pekerjaan itu. Yang menentukan ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu tersebut diserahkan kepada pertimbangan hakim (Pasal 89 ayat (2)).


4. Alat Bukti Pengakuan Para Pihak
Yang dimaksud dengan legalisasi para pihak yakni legalisasi para pihak yang diberikan pada waktu investigasi di sidang pengadilan. Pengakuan itu menyangkut keterangan sepihak yang membenarkan peristiwa, hak atau kekerabatan aturan yang diajukan oleh pihak lawan. Menurut Pasal 105 dinyatakan bahwa ”Pengakuan para pihak tidak sanggup ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang besar lengan berkuasa dan sanggup diterima oleh hakim”.
5. Alat Bukti Pengetahuan Hakim
Pasal 106 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan hakim yakni hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya. Salah satunya yakni hal-hal yang terjadi selama investigasi oleh Hakim tersebut, ibarat hasil investigasi setempat.


BAB VII
PUTUSAN
Sebelum putusan dijatuhkan, terlebih dahulu Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruanga tertutup untuk mempertimbangkan putusan perkara. Hakim Ketua Majelis memimpin musyawarah itu untuk mendapatkan putusan yang merupakan hasil permufakatan bulat. Bila hal itu tidak dicapai, maka permusyawaratan ditunda hingga musyawarah berikutnya. Apabila hal itu gagal setelah diusahakan sungguh-sungguh, kemudian putusan diambil dengan bunyi terbanyak dan kalau itupun tidak tercapai, maka suar terakhir Hakim Ketua Majelis tadi yang menentukan (Pasal 97).
Menurut sifatnya, amar atau diktum putusan sanggup dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu:
Putusan condamnator, yaitu yang amarnya berbunyi sebagai berikut: ”Menghukum dan seterusnya.................”
Putusan konstitutif, yaitu yang amarnya menimbulkan suatu keadaan aturan gres atau meniadakan keadaan aturan baru.
Dari dua sifat putusan tersebut maka sanggup dilihat bahwa putusan hakim dalam Peradilan Tata Usaha Negara bersifat konstitutif, yang mempunyai daya kerja ibarat suatu keputusan aturan publik yang bersifat umum yang berlaku terhadap siapapun (erga omnes).
Jenis Putusan
Secara garis besar dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara dikenal dua jenis putusan, yaitu:
a.  Putusan yang bukan putusan akhir
Putusan yang bukan putusan simpulan yakni putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum investigasi sengketa TUN dinyatakan selesai, yang ditujukan untuk memungkinkan atau mempermudah pelanjutan investigasi sengketa TUN di sidang pengadilan. Mengenai putusan yang bukan putusan simpulan ini sanggup dilihat dari beberapa ketentuan pasal, misalnya:
Pasal 113 ayat (1) yang menyatakan bahwa: ”Putusan Pengadilan yang bukan putusan simpulan meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya dicantumkan dalam gosip program sidang”.
Pasal 124 yang menyatakan bahwa: “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan simpulan hanya sanggup dimohonkan investigasi banding bahu-membahu dengan putusan akhir”.
Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, yang termasuk putusan yang bukan putusan akhir, misalnya:
-          Putusan Hakim Ketua Sidang yang memerintahkan kepada Penggugat atau Tergugat untuk tiba menhadap sendiri ke investigasi sidang pengadilan, meskipun sudah diwakili oleh seorang kuasa (Pasal 58);
-          Putusan Hakim Ketua Sidang yang mengangkat spesialis alih bahasa atau seseorang yang pintar bergaul dengan Penggugat atau saksi sebagai juru bahasa (Pasal 91 ayat (1) dan Pasal 92 ayat (1));
-          Putusan Hakim Ketua Sidang yang menunjuk seseorang atau beberapa orang mahir atas ajakan Penggugat dan Tergugat atau Penggugat atau Tergugatatau lantaran jabatannya (Pasal 103 ayat (1));
-          Putusan Hakim Ketua Sidang mengenai beban pembuktian (Pasal 107).
-           
b. Putusan akhir
Putusan simpulan yakni putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah investigasi sengketa TUN selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat pengadilan tertentu. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (7), diketahui bahwa putusan simpulan sanggup berupa:
1.      Gugatan ditolak
Putusan yang berupa somasi ditolak yakni putusan yang menyatakan bahwa KTUN yang menimbulkan sengketa TUN yakni KTUN yang tidak dinyatakan batal atau dinyatakan sah.
2.      Gugatan dikabulkan
Putusan yang berupa somasi dikabulkan yakni putusan yang menyatakan bahwa KTUN yang menimbulkan sengketa TUN yakni KTUN yang dinyatakan batal atau tidak sah. Dalam hal somasi dikabulkan maka sanggup ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (9), berupa:
-          pencabutan KTUN yang bersangkutan, atau
-          pencabutan KTUN yang bersangkutan dan penerbitan KTUN yang baru, atau
-          penerbitan KTUN baru.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (10) bahwa kewajiban yang dilakukan oleh Tergugat tersebut sanggup disertai pembebanan ganti kerugian. Disamping pembebanan ganti kerugian terhadap somasi dikabulkan berkenaan dengan kepegawaian sanggup juga disertai rehabilitasi atau kompensasi.
-          Ganti rugi yakni pembayaran sejumlah uang kepada orang atau tubuh aturan perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara lantaran adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat.
-          Rehabilitasi yakni memulihkan hak penggugat dalam kemapuan dan kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai pegawai negeri ibarat semula sebelum ada putusan mengenai KTUN yang disengketakan.
-          Kompensasi yakni pembayaran sejumlah uang berdasarkan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara tanggapan dari rehabilitasi tidak sanggup atau tidak tepat dijalankan oleh Badan Tata Usaha Negara.
3.      Gugatan tidak sanggup diterima
Putusan yang berupa somasi tidak diterima yakni putusan yang menyatakan bahwa syarat-syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh somasi yang diajukan oleh penggugat.
4.      Gugatan gugur
Putusan yang berupa somasi gugur yakni putusan yang dijatuhkan hakim lantaran penggugat tidak hadir dalam beberapa kali sidang, meskipun telah dipanggil dengan patut atau penggugat telah meninggal dunia.

Isi Putusan
Isi putusan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 109 ayat (1) , harus memuat:
a.    Kepala putusan yang berbunyi: ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b.    Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediamana, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa;
c.    Ringkasan somasi dan jawaban tergugat yang jelas;
d.   Pertimbangan dan evaluasi setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e.    Alasan aturan yang menjadi dasar putusan;
f.     Amar putusan perihal sengketa dan biaya perkara;
g.    Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan perihal hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Tidak terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud diatas, sanggup mengakibatkan batalnya putusan pengadilan (Pasal 109 ayat (2)). Kata ”dapat” tersebut mengandung arti bahwa kalau tidak terpenuhinya salah satu ketentuan diatas tidak secara otomatis mengakibatkan putusan itu menjadi batal.
Agar suatu putusan menjadi batal, harus ada suatu permohonan dari pihak yang berkepentingan. Misalnya jikalau penggugat mempunyai kehendak biar putusan menjadi batal, maka dalam memori banding atau memori kasasi harus dimuat dengan tegas biar putusan dibatalkan, lantaran tidak terpenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1).

Kekuatan Hukum dari Putusan
Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara dikenal adanya beberapa kekuatan aturan dari putusan hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
a.   Kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuktian dari putusan hakim yakni kekuatan aturan yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa dengan putusan tersebut telah diperoleh bukti perihal kepastian sesuatu. Putusan hakim yakni sertifikat autentik, sehingga putusan hakim tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang tepat (Pasal 1868 jo Pasal 1870 KUHPerdata).
b.   Kekuatan mengikat
Kekuatan mengikat dari putusan hakim yakni kekuatan aturan yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut mengikat yang berkepentingan untuk menaati dan melaksanakannya. Karena dalam Peradilan Tata Usaha Negara berlaku asas Erga Omnesartinya putusan berlaku bagi semua, maka yang dimaksud dengan pihak yang berkepentingan yakni semua orang dan/atau semua tubuh hukum, baik tubuh aturan perdata maupun tubuh aturan publik.
c.   Kekuatan eksekutorial.
Kekuatan eksekutorial dari putusan hakim yakni kekuatan aturan yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut sanggup dilaksanakan. Sebagai syarat bahwa suatu putusan hakim memperoleh kekuatan eksekutorial yakni dicantumkannya irah-irah ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada putusan hakim tersebut.


BAB VIII
UPAYA HUKUM

Upaya aturan yakni alat atau sarana aturan untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan pengadilan. Upaya aturan yang dimaksud adalah:
Upaya aturan biasa, yang terdiri dari:
1. Perlawanan terhadap Penetapan Dismissal
2. Banding
3. Kasasi
Upaya aturan luar biasa, yang terdiri dari:
1. Peninjauan Kembali
2. Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Dalam serpihan ini akan diuraikan mengenai upaya aturan berupa Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, yaitu sebagai berikut:
8.1 Banding
Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 terhadap putusan PTUN tersebut sanggup dimintakan investigasi banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Permohonan investigasi banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam batas waktu tenggang 14 (empat belas) hari setelah putusan diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.
Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan investigasi banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka sanggup melihat berkas masalah di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam batas waktu tenggang 30 (tiga puluh) hari setelah mereka mendapatkan pemberitahuan tersebut.
Para pihak sanggup menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan mediator Panitera Pengadilan (Pasal 126).
Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN beropini bahwa investigasi Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut sanggup mengadakan sendiri untuk investigasi perhiasan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan investigasi tambahan.
Setelah investigasi di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat investigasi dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam investigasi tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127).
Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding sanggup dilakukan setiap dikala sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan investigasi banding tidak sanggup diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun batas waktu tenggang untuk mengajukan permohonan investigasi banding belum lampau (Pasal 129).
8.2 Kasasi
Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding sanggup dilakukan upaya aturan Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131, yang menyebutkan bahwa investigasi tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sanggup dimohonkan investigasi kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk program investigasi ini dilakukan berdasarkan ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 perihal Mahkamah Agung.
Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, investigasi kasasi untuk masalah yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan berdasarkan ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.
Untuk sanggup mengajukan permohonan investigasi di tingkat kasasi, Pasal 143 UU No 14 Tahun 1985 menentukan bahwa permohonan kasasi sanggup diajukan jikalau pemohon terhadap perkaranya telah memakai upaya aturan banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Menurut Pasal 46 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985, permohonan investigasi di tingkat kasasi harus diajukan dalam batas waktu tenggang 14 hari setelah putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diberitahukan kepada pemohon. Apabila batas waktu tenggang 14 hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang berperkara, maka berdasarkan Pasal 46 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 1985 ditentukan bahwa pihak yang berperkara dianggap telah mendapatkan putusan.
Mengingat pemberitahuan adanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara itu dilakukan dengan memberikan salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dengan surat tercatat oleh Panitera kepada penggugat atau tergugat, maka perhitungan 14 hari itu dimulai esok harinya setelah penggugat atau tergugat mendapatkan surat tercatat yang dikirim oleh Panitera yang isinya salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Alasan pengajuan kasasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985 jo UU No 5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa MA dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, karena:
tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
salah menerapkan atau melanggar aturan yang berlaku;
lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
8.3 Peninjauan Kembali
Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka sanggup ditempuh upaya aturan luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132, yang menyebutkan bahwa :
Ayat (1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan aturan tetap sanggup diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.”
Ayat (2) : “Acara investigasi Peninjauan Kembali ini dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 perihal Mahkamah Agung.”
Dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 UU No 14 Tahun 1985, sanggup diketahui bahwa permohonan peninjauan kembali terhadap putusan masalah sengketa TUN yang telah memperoleh kekuatan aturan tetap, hanya sanggup diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
1.      Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu tipu daya pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti gres yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
2.      Apabila masalah setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu masalah diperiksa tidak sanggup ditemukan;
3.      Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut;
4.      Apabila mengenai sesuatu serpihan dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5.      Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu hal yang sama, atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
6.      Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.


DAFTAR PUSTAKA

Amrah Muslimin, 1985, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok perihal Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung.
Effendi, 1994, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Mahdi Offset, Semarang.
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang perihal Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II), Sinar Harapan, Jakarta.
Jazim Hamidi, 2000, Yurisprudensi perihal Penerapan Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang layak, Tatanusa, Jakarta.
Kansil, 1997, Modul Hukum Administrasi Negara, PT. Pradya Paramitha, Jakarta.
Kuntjoro Purbopranoto, 1985, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung.
Marbun, SF, 1997, Peradilan Administratif Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
________, 1988, Peradilan Tata Usaha Negara, Liberty, Yogyakarta.
Martiman Prodjohamidjojo, 1996, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Utrecht, E, 1990, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta.
Philipus M. Hadjon dkk, 1995, Pengantar Hukum Administratif Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Riawan Tjandra, 1995, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,Universitas Atmajaya, Yogyakarta.
Suraputra, Ketut, 1993, Himpunan Karangan di Bidang Hukum Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung RI, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
Suparto Wijoyo, 1997, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administratif,Airlanggga University Press, Yagyakarta.
Suwarma Al Muchtar, 1999, Peradilan Tata Usaha Negara, Epsilon Grup, Bandung.
Siti Soetami, A, 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Refika Aditama, Jakarta.
Wiyono, R, 2008, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta.
Zairin Harahap, 1997, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 perihal Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 perihal Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 1991 perihal Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 perihal Peradilan Tata Usaha Negara.
Yurisprudensi MA, 1993, Mahkamah Agung RI.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 perihal Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Nomor 14 Tahunn 1985 jo Unndang-undang Nomor 5 Tahun 2004 perihal Mahkamah Agung

Selengkapnya Klik : DOWNLOAD

0 Response to "Makalah Keikut Pesertaan Pihak Ketiga Dalam Aturan Program Peradilan Ata Perjuangan Negara"